PENDIDIKAN DAN PEMBARUAN MASYARAKAT
Ada para pendidik yang menaruh kepercayaan yang besar sekali akan kekuasaan pendidikan dalam membentuk masyarakat baru. Karena itu setiap anak diharapkan memasuki sekolah dan dapat diberikan ide-ide baru tentang masyarakat yang lebih indah dari pada yang sudah-sudah. Sekolah dapat merekontruksi atau mengubah dan membentuk kembali masyarakat baru.
Apakah harapan itu akan terpenuhi dapat dipertanyakan. Pihak yang berkuasa disuatu Negara yang pada umumnya menggunakan sekolah untuk mempertahankan dasar-dasar masyarakat yang ada. Perubahan yang diasasi tak akan terjadi tanpa persetujuan pihak yang berkuasa dan masyarakat.
Tak dapat diharapkan bahwa guru-gurulah akan mengambil inisiatif untuk mengadakan reformasi, oleh sebab guru itu sendiri diangkat oleh pihak yang berkuasa dan telah menerima norma-norma yang dipersyaratkan oleh atasannya. Perubahan yang dapat diadakan hanya kecil-kecilan saja dibawah pimpinan yang berwenang. Sekolah tak dapat melepaskan diri dari masyarakat tempat ia berada, dan dari kontrol pihak yang berkuasa. Sekolah hanya dapat mengikuti perkembangan dan perubahan masyarakat dan tak mungkin memplopori atau mendahuluinya. Jadi tidak ada harapan sekolah dapat membangun masyrakat baru lepas dari perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat tersebut.
Tentu saja sekolah dapat digunakan oleh yang berkuasa untuk mengadakan perubahan-perubahan radikal yang diiinginkan oleh pihak yang berkuasa itu. Sistem pendidikan adalah alat yang ampuh untuk mengindoktrinasi generasi mudar agar menciptakan suatu masyarakat menurut keinginan mereka yang mengontrolnya, perubahan kekuasaan dalam suatu Negara, misalnya oleh golongan yang menganut ideology lain akan memanfaatkan sekolah sebagai alat untuk membangun masyarakat baru menurut ideology mereka. untuk itu mereka selanjutnya harus cukup lama memegang kekuasaan untuk mengindoktrinasikan rakyat secara seluruhnya dan tuntas.
Dalam dunia yang dinamis ini tidak dapat tidak setiap masyrakat mengalami perubahan, tidak turut berubah mengikuti pertumbuhan zaman akan membahayakan eksistensi masyarakat tersebut. Tiap pemerintahan akan mengadakan perubahan yang diinginkan demi kesejahteraan rakyatnya dan keselamatan bangsa dan negaranya.
artikel filsafat pendidikan
Rabu, 28 Desember 2016
Pengaruh Industri terhadap pendidikan
Pengaruh Industri terhadap pendidikan
INDUSTRI DAN PENDIDIKAN
Hubungan antara industri dan pendidikan bersifat timbal-balik, serta memiliki pengaruh besar terhadap tenaga kerja yang telah terlatih atau calon tenaga kerja yang memiliki latar belakang dan tingkat pendidikan yang cukup memadai untuk mendapatkan suatu latihan, selain itu industri sendiri meinpunyai suatu sub sistem "pendidikan" yang khas, termasuk .kegiatan magang dan berbagai bentuk training.
PENGARUH INDUSTRI TERHADAP PENDIDIKAN
Pengaruh dari sektor industri terhadap sektor pendidikan ialah kecenderungan untuk menyusun dan menerapkan kurikulum serta materi pelajaran di dunia pendidikan (& pelatihan) agar sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Dan pihak industriawan menghendaki suatu metode pendidikan yang memungkinkan lulusan sekolah menjadi tenaga yg siap pakai.
INDUSTRI DAN PENDIDIKAN
Hubungan antara industri dan pendidikan bersifat timbal-balik, serta memiliki pengaruh besar terhadap tenaga kerja yang telah terlatih atau calon tenaga kerja yang memiliki latar belakang dan tingkat pendidikan yang cukup memadai untuk mendapatkan suatu latihan, selain itu industri sendiri meinpunyai suatu sub sistem "pendidikan" yang khas, termasuk .kegiatan magang dan berbagai bentuk training.
PENGARUH INDUSTRI TERHADAP PENDIDIKAN
Pengaruh dari sektor industri terhadap sektor pendidikan ialah kecenderungan untuk menyusun dan menerapkan kurikulum serta materi pelajaran di dunia pendidikan (& pelatihan) agar sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Dan pihak industriawan menghendaki suatu metode pendidikan yang memungkinkan lulusan sekolah menjadi tenaga yg siap pakai.
PENILAIAN AUTENTIK
PENILAIAN AUTENTIK
Pengertian Penilaian Autentik
Penilaian Autentik adalah suatu istilah / terminologi yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif yang memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuanya dalam menyelesaikan tugas-tugas dan menyelesaikan masalah.
Contoh penilaian Autentik seperti meneliti,menulis,merevisi dan membahas artikel,memberikan analisis moral terhadapperistiwa,berkolaborasi dengan antar sesama melalui debat,dan sebagainya.
bentuk soal tes menggunakan standar tes berbasis norma,pilihan ganda,benar-salah,menjodohkan,atau membuat jawaban singkat.
Penilaian Autentik dapat dibuat oleh guru sendiri ,guru secara tim,atau guru bekerja sama dengan peserta didik.asumsinya peserta didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika mereka tahu bagaimana akan dinilai.penilaian Autentik mencoba menggabungkan kegitan guru mengajar ,kegiatan siswa belajar,motivasi dan keterlibatan peserta didik,serta keterampilan belajar.penilaian Autentik sering digambarkan sebagai penilaian atas perkembangan peserta didik karena berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana belajar tentang subjek.
Penilaian Autentik dan Belajar Autentik
Dalam pembelajaran Autentik ,peserta didik diminta mengumpulkan informasi dengan pendekatan saintifik.penilaian Autentik memandang penilaian dan pembelajaran adalah merupakan dua hal yang saling berkaitan
Jenis –jenis Penilaian Autentik
Penilaian sikap
Penilaian pengetahuan
Penilaian keterampilan
Pengertian Penilaian Autentik
Penilaian Autentik adalah suatu istilah / terminologi yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif yang memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuanya dalam menyelesaikan tugas-tugas dan menyelesaikan masalah.
Contoh penilaian Autentik seperti meneliti,menulis,merevisi dan membahas artikel,memberikan analisis moral terhadapperistiwa,berkolaborasi dengan antar sesama melalui debat,dan sebagainya.
bentuk soal tes menggunakan standar tes berbasis norma,pilihan ganda,benar-salah,menjodohkan,atau membuat jawaban singkat.
Penilaian Autentik dapat dibuat oleh guru sendiri ,guru secara tim,atau guru bekerja sama dengan peserta didik.asumsinya peserta didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika mereka tahu bagaimana akan dinilai.penilaian Autentik mencoba menggabungkan kegitan guru mengajar ,kegiatan siswa belajar,motivasi dan keterlibatan peserta didik,serta keterampilan belajar.penilaian Autentik sering digambarkan sebagai penilaian atas perkembangan peserta didik karena berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana belajar tentang subjek.
Penilaian Autentik dan Belajar Autentik
Dalam pembelajaran Autentik ,peserta didik diminta mengumpulkan informasi dengan pendekatan saintifik.penilaian Autentik memandang penilaian dan pembelajaran adalah merupakan dua hal yang saling berkaitan
Jenis –jenis Penilaian Autentik
Penilaian sikap
Penilaian pengetahuan
Penilaian keterampilan
SEPERTI APA ARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
SEPERTI APA ARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pendidikan Atau Pengajaran Dewasa ini banyak orang kurang memahami arti pendidikan. Apa itu pendidikan? Pendidikan seringkali diartikan secara sempit sebagai pengajaran di sekolah. Bahkan lebih sempit lagi diartikan sebagai pengajaran di dalam kelas. Pendidikan seharusnya memiliki arti yang jauh lebih luas dari pada sekedar pengajaran. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 mendefinisikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam bahasa yang berbeda, “Bapak Pendidikan Nasional” Dewantara dalam Warli dan Yuliana (2011: 208) menyatakan bahwa, “... pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak.” Proses kegiatan pendidikan disebut dengan mendidik. Bentuk
-bentuk kegiatan mendidik banyak ragamnya tergantung pada aspek apa yang harus kita didik. M
engajar, membimbing, melatih, mengarahkan, memberi contoh, dan membiasakan merupakan contoh-contoh dari bentuk kegiatan mendidik. Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar yang disengaja, terencana, terpola, dan dapat dievaluasi, yang diberikan kepada peserta didik oleh pendidik agar tercapai kemampuan yang optimal. Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan yang ada dalam diri peserta didik. Potensi-potensi dimaksud diharapkan agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan bangsa. Oleh karena itu pendidikan bagi manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, mustahilmanusia dapat hidup berkembangsejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera dan bahagia. Dalam pendidikan terdapat upaya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam rangka mendewasakan atau mengembangkan potensi peserta didik. Setiap peserta didik memiliki potensi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, seharusnya pendidikan disesuaikan dengan kondisi setiap peserta didik. Model kegiatan pendidikan di sekolah yang lebih banyak menyeragamkan pola pengajaran secara klasikal, sesungguhnya kurang tepat. Model pembelajaran klasikal, dengan slogan “masuk bareng keluar bareng” menyalahi dari konsep pendidikan yang sesungguhnya. Pembelajaran di sekolah sebagai salah satu bentuk model pendidikan, seharusnya dilakukan dengan azas demokrasi. Dalam azas demokrasi, pendidikan harus berlangsung dan disesuaikan dengan potensi dan kecepatan daya tangkap masing-masing peserta didik. Pendidikan harus dilakukan dalam upaya mengembangkan semua ranah atau dimensi yang ada dalam diri peserta didik. Ada 5 (lima) potensi atau ranah pendidikan yang harus dikembangkan dalam diri setiap peserta didik yaitu: ranah pikir, ranah rasa, ranah karsa, ranah religi, dan ranah raga. Ranah pikir merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan akal pikiran dan penalaran. Potensi pikir peserta didik ada di dalam otak (brain) peserta didik. Ranah rasa merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan aspek emosional baik berupa amarah, kesedihan, ketenangan, maupun kegembiraan. Potensi rasa peserta didik ada di dalam hati sanubari (qolbu) peserta didik. Ranah karsa merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan dororangan jiwa untuk berkehendak atau berkeinginan. Potensi karsa peserta didik ada dalam jiwa (psikis) peserta didik. Ranah religi merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan kepercayaan dan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Potensi religi peserta didik ada dalam ruh atau “sejatinya hidup” peserta didik.
Ranah raga merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan gerak dan ketrampilan fisik. Potensi raga terletak pada seluruh anggota tubuh (fisik) yang dimiliki peserta didik. Untuk menghasilkan generasi bangsa yang yang berilmu, cakap dan bermoral maka proses pendidikan di sekolah harus memberikan fungsi yang berimbang antara pendidikan dan pengajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Wijayanto (2011) yang menyatakan, “Sekolah modern dalam melaksanakan fungsinya perlu memberi porsi seimbang antara pengajaran dan pendidikan. Pengajaran adalah lebih menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupannnya kelak. Sedang pendidikan lebih menyangkut aspek kepribadian.” Kegiatan pengajaran dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik yang terkait dengan potensi pikir (intelektual) dan potensi raga (kinestetik). Sementara, kegiatan pendidikan lebih ditekankan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik yang terkait potensi rasa, karsa dan religi (kecerdasan sosial, semengat jiwa, serta keimanan dan ketakwaan). Pola perimbangan antara aspek pengajaran dan pendidikan harus disesuaikan dengan setiap level/jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan level bawah seperti pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD), porsi aspek pendidikan harus lebih banyak dari pada aspek pengajaran. Sebaliknya untuk jenjang pendidikan tinggi, porsi aspek pengajaran harus lebih banyak dari pada aspek pendidikan. Proses pendidikan pada jenjang PAUD dan SD seharusnya lebih diutamakan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi moral peserta didik. Potensi moral yang harus dikembangkan meliputi moral diri (potensi karsa), moral sosial (potensi rasa), dan moral keimanan dan ketakwaan (potensi religi). Pola pembelajaran yang
dikembangkan harus lebih ditekankan pada proses keteladanan, kepeloporan dan pembiasaan. Hasil-hasil pendidikan yang diharapkan harus lebih diorientasikan untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian yang kuat, berakhlak mulia, serta beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, bukan sekedar menghasilkan peserta didik yang pandai berhitung, menulis dan membaca. Permasalahannya, apakah proses pendidikan yang ada sudah berlangsung seperti ini?Kebijakan Arah Pendidikan Bangsa Fenomena degradasi moral yang terjadi dan sedang melanda bangsa ini merupakan indikasi kegagalan pembangunan bidang pen
didikan. Korupsi sudah merajalela dan mewabah pada hampir seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pejabat hingga ke tukang parkir. Tindak kekerasan dan tawuran ada dimana-mana, mulai dari tawuran antar pelajar, tawuran antar supporter olah raga, tawuran antar sesame penonton pertunjukkan musik, tawuran antar warga, hingga tawuran antar sesama anggota DPR. Penyalahgunaan narkotika ada pada hampir semua lapisanmasyarakat, mulai dari pejabat, artis hingga pelajar dan rakyat jelata. Gaya hidup hedonisme, yang lebih mengutamakan dan mementingkan aspek materi dalam mengukur keberhasilan hidup seseorang telah menjangkit pada sebaian besar sendi-sendi masyarakat. Gambaran tersebut merupakan sebagian dari contoh-contoh penyakit moral bangsa yang sedang melanda bangsaIndonesia. Gambaran tersebut juga merupakan realita dari hasil pendidikan bangsa Indonesia yang sudah merdeka sejak 67 tahun yang lalu. Bahkan Salido (2011) menambahkan, “Selain kondisi yang terus terpuruk, bangsa Indonesia masih harus dibebani segopok citra buruk yang dipikulnya. Misalnya bangsa Indonesia
dijuluki sebagai bangsa kuli, bangsa terkorup di dunia, tidak disiplin, munafik, ceroboh, suka melempar tanggung jawab, dan berbagai hinaan lainnya.”Mengapa hal-hal tersebut terjadi? Apakah pembangunan pendidikan di Indonesia tidak punya arah yang jelas?
Arah Pendidikan di Indonesia.
Para pendiri bangsa telah menetapkan kebijakan arah pendidikan bangsa sejak ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai undang-undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Kebijakan arah pendidikan bangsa Indonesia dirumuskan sebagai
salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia merdeka seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu: “mencerdasakan kehidupan bangsa yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pola kebijakan pendidikan di Indonesia harus didasarkan pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia seperti yang tertuang pada Pancasila. Pendidikan di Indonesia harus diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berilmu dan cakap yang dilandasi kepribadian yang kuat, berakhlak mulia, serta beriman dan bertakwa kepa Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen mempertegas kebijakan arah pendidikan bangsa Indonesia yaitu, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Surakhmad (2009: 188) mengatakan, “Pendidikan nasional diciptakan untuk menjadi kekuatan yang menentukan dalam membangun bangsa berdasarkan cita-cita berbangsa sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD 1945.” Berdasarkan hal tersebut, maka sudah jelas bahwa arah pendidikan yang harus dikembangkan di Indonesia yaitu pendidikan yang tidak hanya sekedar menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas intelektualnya saja, melaikan juga harus disertai
dengan cerdas sosial, cerdas pribadi (kejiwaan), dan cerdas spiritualnya. Untuk maksud ini, Muhyidin (2012) mengatakan, Dalam menjalankan sistem pendidikan nasional haruslah dirancang mekanisme yang baik, terencana, terarah dan terintegrasi dalam misi peningkatan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, atau pembangunan moral. Jadi kebijakan arah pendidikan nasional bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan kualitas akhlak mulia serta keimanan dan ketakwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan kebijakan arah pendidikan tersebut, selanjutnya dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas ditetapkan tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia. Pasal 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Masa Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.”Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003 ada 9 (sembilan) karakter/ciri sumber daya manusia Indonesia yang dilahirkan melalui proses pendidikan nasional yaitu: beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Masa Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.
Kesembilan karakter manusia Indonesia initelah mencakup kelima ranah/potensi pendidikan. Pengembangan potensi pikir(kecerdasan intelektual) yaitu ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang berilmudan kreatif. Pengembangan potensi rasa (kecerdasan sosial)
ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menjadi warga Negara yang demokratis. Pengembangan potensi karsa (kecerdasan psikis/jiwa) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang mandiridan bertanggung jawab. Pengembangan potensi religi (kecerdasan spiritual) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Pengembangan potensi raga (kecerdasan kinestetik) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan cakap.
Arah pendidikan bangsa Indonesia sudah bersifat utuh dan menyeluruh meliputi semua ranah pendidikan yaitu bertujuan untuk mengembangkan semua potensi yang ada dalam diri peserta didik. Muhyiddin (2012) mengatakan, “Disamping untuk meningkatkan kepandaian dan intelektualitas, proses pendidikan juga harus dijiwai dengan nilai-nilai peningkatan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia, karena disinilah arah pendidikan nasional kita yang telah diatur undang-undang.” Pendidikan tidak hanya ditujukan untuk melahirkan generasi penerus bangsa yang cerdas menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi saja atau hanya sekedar cerdas intelektualnya saja. Pendidikan juga harus diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas sosial, cerdas pribadi/jiwa, cerdas spiritual, dan cerdas kinestetiknya. Untuk menghasilkan peserta didik yang menguasai ranah pikir (kecerdasan intelektual) yang tinggi, modelpendidikan dapat dilakukan dengan bentuk pengajaran dalam rangka transfer of knowledge. Sementara itu, upaya untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki ranah rasa (kecerdasan sosial), ranah karsa (kecerdasan jiwa/psikis), dan ranah religi (kecerdasan spiritual) yang tinggi, maka model pendidikan yang harus dikembangkan melalui pemberian contoh (keteladanan), kepeloporandan pembiasaan dalam rangka transfer of valueatau pembudayaan nilai-nilai karakter bangsa. Sedangkan upaya untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki ranah raga (kecerdasan kinestetik) yang tinggi, maka pendidikan dapat dilakukan melalui model latihan dan pembiasaan dalam rangka mengembangkan gerak reflek dan kecekatan bertindak. Dalam tataran kebijakan, arah pendidikan bangsa Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas. Secara yuridis, arah kebijakan bangsa Indonesia telah diatur dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat (3), dan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3. Dalam tataran kebijakan, arah pendidikan bangsa Indonesiamenuntut adanya keseimbangan antara pengembangan potensi fisik (raga) dan potensi pikir (intelektualitas) dengan pendidikan moral dalam rangka pengembangan potensi rasa, potensi karsa, dan potensi religi. Muhyiddin (2012) menyatakan, diperlukan keseimbangan antara membangun jiwanya dan membangun badannya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Wage Rudolf Supratman dalam lirik syair lagu Indonesia Raya yang berbunyi, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.” Bangunlah jiwanya memiliki arti untuk pembangunan moral bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Bangunlah badannya memiliki arti untuk pembangunan material, yang menyangkut pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, pembangunan intelektualitas, dan pembangunan raga (fisik) peserta didik.
Refleksi Implementasi Arah Pendidikan Bangsa Idealisme arah pendidikan bangsa dalam tataran kebijakan tampaknya baru hanya sebatas slogan belaka. Praktek pendidikan yang berlangsung dewasa ini masih belum mencerminkan adanya refleksi dari implementasi aktualisasi kebijakan arah pendidikan nasional. Praktek pendidikan dewasa ini, secara faktual banyak melahirkan sumber daya manusia yang bermental korup, kurang percaya diri, dan tidak bermoral. Sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan memiliki kepribadian Pancasila masih belum banyak
didapatkan. Mengapa hal ini terjadi? Apa yang salah dengan praktek pendidikan kita? Terkait dengan fenomena praktek pendidikan dewasa ini, Tilaar (Damanik dan Hertanto,2009) menyampaikan sejumlah kritik dan koreksi terhadap praktek pendidikan nasional.
Pertama, ciri pendidikan nasional yang seharusnya didasarkan pada kebudayaan nasional kerap terabaikan. Pembentukan watak tidak lagi menjadi prioritas. Pendidikan hanya sibuk untuk membentuk anak-anak yang menang pada olimpiade-olimpiade saja, hanya membentuk intelektual dan kognisi saja.
Kedua, Poskolonialisme sangat kental dalam praktek pendidikan nasional dewasa ini, yaitu ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok (kelas-kelas) dalam pendidikan.
Ketiga, adanya nuansa pembohongan publik yang diumbar melalui iklan dan jargon sekolah gratis.
Keempat, Perguruan tinggi tidak lagi berkembang sebagai pusat pengembangan kebudayaan nasional, tetapi hanya sebagi pusat pelatihan.
Kelima, Konsep world class education dan manajemen pendidikan nasional menjadi kabur, karena bukan berorientasi pada kebutuhan anak Indonesia, melainkan sekadar untuk membentuk
anak mampu bersaing. Hal ini ditandai dengan belum munculnya sekolah menengah kejuruan (SMK) yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah. Jika koreksi yang disampaikan di atas tidak mendapatkan perhatian dan respon positif dari semua stakeholder pendidikan, maka pendidikan nasional hanya akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang tidak bermoral.
SDM yang dihasilkan hanyalah SDM yang cerdas inelektual atau kognisinya saja, tetapi memiliki moral yang buruk seperti egois, kurang mencintai budaya bangsa, hedonisme, kurang percaya diri, tidak mandiri dan bermental korup. Terkait dengan ini, Sajarwo danAnna (2012) menyatakan, “Saat ini pendidikan hanya dimaknai sebagai teknik manajerial persekolahan yang hanya menitik beratkan pada kemampuan kognitif dan meminggirkan pendidikan karakter bangsa. Pendidikan semacam itu dinilai hanya akan menghasilkan manusia yang individual, serakah, dan tidak memiliki rasa percaya diri.”Selain itu, juga akan terjadi pemborosan anggaran pendidikan. Triliunan dana APBN untuk bidang pendidikan hanya akan terbuang percuma, karena tidak mencapai sasaran pendidikan nasional. Praktek pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan anak dan daerah, sehingga hanya menghasilkan pengangguran intelektual.
Fitrian (2010) mengungkapkan, dewasa ini jumlah pengangguran berpendidikan sarjanan sangat tinggi mencapai (sekitar 1 juta orang) dari total 8-10% rakyat pengangguran. Menurutnya, pemicu pengangguran adalah kurangnya lapangan pekerjaan dan tidak sinkronnya antara pencari kerja dengan lapangan pekerjaan, yang disebabkan oleh sistem pendidikan atau arah pendidikan yang tidak jelas. Munculnya pengangguran intelektual akan lebih memperparah kondisi pembangunan bangsa. Penanganan pengangguran intelektual yang tidak berkarakter biasanya lebih sulit dari pada penangan pengangguran berpendidikan rendah. Hal ini terjadi, karena pada pengangguran berintelektual tinggi tetapi tidak berkarakter, biasanya merupakan SDM yang bercirikan: malas, mudah putus asa, tidak suka bekerja keras, konsumtif, serakah, dan tidak punya rasa percaya diri. Dalam rangka menghasilkan kualitas SDMIndonesia yang sesuai dengan kebijakan arah pendidikan nasional, perlu dikembangkan suatu kurikulum pendidikan yang tepat.
Dalam pengembangan kurikulum pendidikan harus termuat empat standar yang saling terkait, yaitu: (1) standar kompetensi (tujuan pendidikan), (2) standar isi (materi/tema pembelajaran), (3) standar proses, dan (4) standar evaluasi (penilaian). Dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan agar semua ranah pendidikan atau potensi peserta didik dapat dibangun dan dikembangkan. Selain itu, pengembangan kurikulum harus memperhatikan satandar pendukung pendidikan yang meliputi:
(1) standar sarana-prasarana, (2) standar tenaga pendidikan & kependidikan, (3) standar pembiayaan, dan (4) standar pengelolaan.
Secara umum desain pengembangan kurikulum yang terjadi di sekolah-sekolah dewasa ini lebih banyak menitik beratkan dalam pengembangan ranah pikir atau kognitif semata. Disusul kemudian yang sedikit mendapat perhatian yaitu pengembangan ranah raga (kinestetik) yang bersifat skillatau psikomotorik. Sementara untuk ranah potensirasa, karsa, dan religi yang menjadi muatan pendidikan moral/karakter dan bersifat afektif kurang mendapat perhatian. Kalaupun ada, untuk ranah rasa, karsa, dan religi ini baru dikembangkan sebatas pemenuhan aspek formalitas yang dituangkan dalam Rencana Program pembelajaran (RPP) berkarakter.
Melalui pemberlakuan RPP berkarakter yang dimulai pada tahun pelajaran 2011/2012 maka secara formal semua RPP yang dibuat oleh guru harus memuat nilai-nilai karakter dari ranah rasa, karsa atau religi yang dapat dikembangkan dalam suatu pembelajaran. Hanya saja nilai-nilai moral/karakter yang sudah diidentifikasi dapat dikembangkan dalam suatu RPP tersebut belum didukung dengan rancangan standar proses dan standar evaluasi yang sesuai.Rancangan kegiatan inti pembelajaran sebagai gambaran dari standar proses masih lebih diarahkan untuk mencapai pengembangan ranah pikir (kognitif) dan ranah raga psikomotor). Rancangan kegiatan intipembelajaran untuk mengembangkan ranah rasa, karsa, dan religi pendidikan moral/karakter) kurang tergambarkan secara jelas dan tepat.
Aminudin (2011: 28) menyatakan bahwa, metode pendidikan untuk membangun dan mengembangkan pendidikan moral (olah rasa, karsa dan religi) dapat dilakukan melalui beberapa metode seperti: metode keteladanan, metode pembiasaan, metode nasihat, metode pengawasan, dan metode live in (tinggal dalam komunitas). Fenomena ini juga terjadi dalam pengembangan standar evaluasi (penilaian). Bagaimana cara menilai ranah rasa, ranah karsa atau ranah religi tidak tampak dengan jelas. Kalaupun ada, gambaran standar evaluasi untuk ranah rasa, karsa, maupun religi,baru dilakukan para guru hanya menulis dengan metode pengamatan. Bagaimana cara mengamati, siapa yang mengamati, dan apa saja yang diamati masih banyak kurang dipahami oleh para guru.Muhyiddin (2012) menyatakan, “Dalam prakteknya, arah pendidikan nasional yang sudah berjalan selama ini 95% hanya menitik beratkan pada unsur kepandaian dan
intelektual saja, sedangkan unsur pembangunan moral hanya menjadi pendidikan skunder belaka.”
Pendidikan yang terjadi dan dilakukan di sekolah masih timpang. Pengembangan ranah pikir (kognitif) lebih mendapat perhatian dan porsi yang lebih besar, sementara ranah rasa, karsa dan religi terabaikan. Terlebihlagi dengan adanya sistem ujian nasional untuk beberapa mata pelajaran pada tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengaha atas atau sederajat. Secara tidak sadar, keberadaan ujian nasional telah menggiring para peserta didik, guru, atau masyarakat (orang tua) untuk mengutamakan olah pikir atau pengembangan intelektualitas (kognitif) semata dalam pendidikan.
Dalam upaya mengimplementasikan kebijakan arah pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam UUD 1945 dan undang-undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003, perlu dilakukan pengakajian keilmuan yang tepat dalam pengembangan persekolahan untuk level pendidikan menengah dan tinggi. Pembukaandan pengembangan SMK dan program studi di perguruan tinggi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi daerah. Achmad dalam Aditya (2011) mengatakan, “Indonesia perlu grand design spesifikasi arah keilmuan yang akan datang dan keilmuan didasarkan pula pada pertimbangan geografis. Misalnya wilayah Indonesia bagian timur, bidang ilmu yang dikembangkan meliputi energi, kehutanan, dan perikanan kelautan sehingga optimalisasi pembangunan wilayah bisa tercapai. “Untuk hal ini, pemerintah harus membuat peta potensi dan kebutuhan daerah, yang dijadikan sebagai dasar untuk membuat kebijakan pengembangan keilmuan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
Pendidikan Atau Pengajaran Dewasa ini banyak orang kurang memahami arti pendidikan. Apa itu pendidikan? Pendidikan seringkali diartikan secara sempit sebagai pengajaran di sekolah. Bahkan lebih sempit lagi diartikan sebagai pengajaran di dalam kelas. Pendidikan seharusnya memiliki arti yang jauh lebih luas dari pada sekedar pengajaran. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 mendefinisikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam bahasa yang berbeda, “Bapak Pendidikan Nasional” Dewantara dalam Warli dan Yuliana (2011: 208) menyatakan bahwa, “... pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak.” Proses kegiatan pendidikan disebut dengan mendidik. Bentuk
-bentuk kegiatan mendidik banyak ragamnya tergantung pada aspek apa yang harus kita didik. M
engajar, membimbing, melatih, mengarahkan, memberi contoh, dan membiasakan merupakan contoh-contoh dari bentuk kegiatan mendidik. Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar yang disengaja, terencana, terpola, dan dapat dievaluasi, yang diberikan kepada peserta didik oleh pendidik agar tercapai kemampuan yang optimal. Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan yang ada dalam diri peserta didik. Potensi-potensi dimaksud diharapkan agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan bangsa. Oleh karena itu pendidikan bagi manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, mustahilmanusia dapat hidup berkembangsejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera dan bahagia. Dalam pendidikan terdapat upaya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam rangka mendewasakan atau mengembangkan potensi peserta didik. Setiap peserta didik memiliki potensi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, seharusnya pendidikan disesuaikan dengan kondisi setiap peserta didik. Model kegiatan pendidikan di sekolah yang lebih banyak menyeragamkan pola pengajaran secara klasikal, sesungguhnya kurang tepat. Model pembelajaran klasikal, dengan slogan “masuk bareng keluar bareng” menyalahi dari konsep pendidikan yang sesungguhnya. Pembelajaran di sekolah sebagai salah satu bentuk model pendidikan, seharusnya dilakukan dengan azas demokrasi. Dalam azas demokrasi, pendidikan harus berlangsung dan disesuaikan dengan potensi dan kecepatan daya tangkap masing-masing peserta didik. Pendidikan harus dilakukan dalam upaya mengembangkan semua ranah atau dimensi yang ada dalam diri peserta didik. Ada 5 (lima) potensi atau ranah pendidikan yang harus dikembangkan dalam diri setiap peserta didik yaitu: ranah pikir, ranah rasa, ranah karsa, ranah religi, dan ranah raga. Ranah pikir merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan akal pikiran dan penalaran. Potensi pikir peserta didik ada di dalam otak (brain) peserta didik. Ranah rasa merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan aspek emosional baik berupa amarah, kesedihan, ketenangan, maupun kegembiraan. Potensi rasa peserta didik ada di dalam hati sanubari (qolbu) peserta didik. Ranah karsa merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan dororangan jiwa untuk berkehendak atau berkeinginan. Potensi karsa peserta didik ada dalam jiwa (psikis) peserta didik. Ranah religi merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan kepercayaan dan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Potensi religi peserta didik ada dalam ruh atau “sejatinya hidup” peserta didik.
Ranah raga merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan gerak dan ketrampilan fisik. Potensi raga terletak pada seluruh anggota tubuh (fisik) yang dimiliki peserta didik. Untuk menghasilkan generasi bangsa yang yang berilmu, cakap dan bermoral maka proses pendidikan di sekolah harus memberikan fungsi yang berimbang antara pendidikan dan pengajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Wijayanto (2011) yang menyatakan, “Sekolah modern dalam melaksanakan fungsinya perlu memberi porsi seimbang antara pengajaran dan pendidikan. Pengajaran adalah lebih menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupannnya kelak. Sedang pendidikan lebih menyangkut aspek kepribadian.” Kegiatan pengajaran dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik yang terkait dengan potensi pikir (intelektual) dan potensi raga (kinestetik). Sementara, kegiatan pendidikan lebih ditekankan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik yang terkait potensi rasa, karsa dan religi (kecerdasan sosial, semengat jiwa, serta keimanan dan ketakwaan). Pola perimbangan antara aspek pengajaran dan pendidikan harus disesuaikan dengan setiap level/jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan level bawah seperti pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD), porsi aspek pendidikan harus lebih banyak dari pada aspek pengajaran. Sebaliknya untuk jenjang pendidikan tinggi, porsi aspek pengajaran harus lebih banyak dari pada aspek pendidikan. Proses pendidikan pada jenjang PAUD dan SD seharusnya lebih diutamakan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi moral peserta didik. Potensi moral yang harus dikembangkan meliputi moral diri (potensi karsa), moral sosial (potensi rasa), dan moral keimanan dan ketakwaan (potensi religi). Pola pembelajaran yang
dikembangkan harus lebih ditekankan pada proses keteladanan, kepeloporan dan pembiasaan. Hasil-hasil pendidikan yang diharapkan harus lebih diorientasikan untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian yang kuat, berakhlak mulia, serta beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, bukan sekedar menghasilkan peserta didik yang pandai berhitung, menulis dan membaca. Permasalahannya, apakah proses pendidikan yang ada sudah berlangsung seperti ini?Kebijakan Arah Pendidikan Bangsa Fenomena degradasi moral yang terjadi dan sedang melanda bangsa ini merupakan indikasi kegagalan pembangunan bidang pen
didikan. Korupsi sudah merajalela dan mewabah pada hampir seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pejabat hingga ke tukang parkir. Tindak kekerasan dan tawuran ada dimana-mana, mulai dari tawuran antar pelajar, tawuran antar supporter olah raga, tawuran antar sesame penonton pertunjukkan musik, tawuran antar warga, hingga tawuran antar sesama anggota DPR. Penyalahgunaan narkotika ada pada hampir semua lapisanmasyarakat, mulai dari pejabat, artis hingga pelajar dan rakyat jelata. Gaya hidup hedonisme, yang lebih mengutamakan dan mementingkan aspek materi dalam mengukur keberhasilan hidup seseorang telah menjangkit pada sebaian besar sendi-sendi masyarakat. Gambaran tersebut merupakan sebagian dari contoh-contoh penyakit moral bangsa yang sedang melanda bangsaIndonesia. Gambaran tersebut juga merupakan realita dari hasil pendidikan bangsa Indonesia yang sudah merdeka sejak 67 tahun yang lalu. Bahkan Salido (2011) menambahkan, “Selain kondisi yang terus terpuruk, bangsa Indonesia masih harus dibebani segopok citra buruk yang dipikulnya. Misalnya bangsa Indonesia
dijuluki sebagai bangsa kuli, bangsa terkorup di dunia, tidak disiplin, munafik, ceroboh, suka melempar tanggung jawab, dan berbagai hinaan lainnya.”Mengapa hal-hal tersebut terjadi? Apakah pembangunan pendidikan di Indonesia tidak punya arah yang jelas?
Arah Pendidikan di Indonesia.
Para pendiri bangsa telah menetapkan kebijakan arah pendidikan bangsa sejak ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai undang-undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Kebijakan arah pendidikan bangsa Indonesia dirumuskan sebagai
salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia merdeka seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu: “mencerdasakan kehidupan bangsa yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pola kebijakan pendidikan di Indonesia harus didasarkan pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia seperti yang tertuang pada Pancasila. Pendidikan di Indonesia harus diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berilmu dan cakap yang dilandasi kepribadian yang kuat, berakhlak mulia, serta beriman dan bertakwa kepa Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen mempertegas kebijakan arah pendidikan bangsa Indonesia yaitu, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Surakhmad (2009: 188) mengatakan, “Pendidikan nasional diciptakan untuk menjadi kekuatan yang menentukan dalam membangun bangsa berdasarkan cita-cita berbangsa sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD 1945.” Berdasarkan hal tersebut, maka sudah jelas bahwa arah pendidikan yang harus dikembangkan di Indonesia yaitu pendidikan yang tidak hanya sekedar menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas intelektualnya saja, melaikan juga harus disertai
dengan cerdas sosial, cerdas pribadi (kejiwaan), dan cerdas spiritualnya. Untuk maksud ini, Muhyidin (2012) mengatakan, Dalam menjalankan sistem pendidikan nasional haruslah dirancang mekanisme yang baik, terencana, terarah dan terintegrasi dalam misi peningkatan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, atau pembangunan moral. Jadi kebijakan arah pendidikan nasional bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan kualitas akhlak mulia serta keimanan dan ketakwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan kebijakan arah pendidikan tersebut, selanjutnya dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas ditetapkan tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia. Pasal 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Masa Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.”Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003 ada 9 (sembilan) karakter/ciri sumber daya manusia Indonesia yang dilahirkan melalui proses pendidikan nasional yaitu: beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Masa Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.
Kesembilan karakter manusia Indonesia initelah mencakup kelima ranah/potensi pendidikan. Pengembangan potensi pikir(kecerdasan intelektual) yaitu ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang berilmudan kreatif. Pengembangan potensi rasa (kecerdasan sosial)
ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menjadi warga Negara yang demokratis. Pengembangan potensi karsa (kecerdasan psikis/jiwa) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang mandiridan bertanggung jawab. Pengembangan potensi religi (kecerdasan spiritual) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Pengembangan potensi raga (kecerdasan kinestetik) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan cakap.
Arah pendidikan bangsa Indonesia sudah bersifat utuh dan menyeluruh meliputi semua ranah pendidikan yaitu bertujuan untuk mengembangkan semua potensi yang ada dalam diri peserta didik. Muhyiddin (2012) mengatakan, “Disamping untuk meningkatkan kepandaian dan intelektualitas, proses pendidikan juga harus dijiwai dengan nilai-nilai peningkatan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia, karena disinilah arah pendidikan nasional kita yang telah diatur undang-undang.” Pendidikan tidak hanya ditujukan untuk melahirkan generasi penerus bangsa yang cerdas menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi saja atau hanya sekedar cerdas intelektualnya saja. Pendidikan juga harus diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas sosial, cerdas pribadi/jiwa, cerdas spiritual, dan cerdas kinestetiknya. Untuk menghasilkan peserta didik yang menguasai ranah pikir (kecerdasan intelektual) yang tinggi, modelpendidikan dapat dilakukan dengan bentuk pengajaran dalam rangka transfer of knowledge. Sementara itu, upaya untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki ranah rasa (kecerdasan sosial), ranah karsa (kecerdasan jiwa/psikis), dan ranah religi (kecerdasan spiritual) yang tinggi, maka model pendidikan yang harus dikembangkan melalui pemberian contoh (keteladanan), kepeloporandan pembiasaan dalam rangka transfer of valueatau pembudayaan nilai-nilai karakter bangsa. Sedangkan upaya untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki ranah raga (kecerdasan kinestetik) yang tinggi, maka pendidikan dapat dilakukan melalui model latihan dan pembiasaan dalam rangka mengembangkan gerak reflek dan kecekatan bertindak. Dalam tataran kebijakan, arah pendidikan bangsa Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas. Secara yuridis, arah kebijakan bangsa Indonesia telah diatur dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat (3), dan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3. Dalam tataran kebijakan, arah pendidikan bangsa Indonesiamenuntut adanya keseimbangan antara pengembangan potensi fisik (raga) dan potensi pikir (intelektualitas) dengan pendidikan moral dalam rangka pengembangan potensi rasa, potensi karsa, dan potensi religi. Muhyiddin (2012) menyatakan, diperlukan keseimbangan antara membangun jiwanya dan membangun badannya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Wage Rudolf Supratman dalam lirik syair lagu Indonesia Raya yang berbunyi, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.” Bangunlah jiwanya memiliki arti untuk pembangunan moral bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Bangunlah badannya memiliki arti untuk pembangunan material, yang menyangkut pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, pembangunan intelektualitas, dan pembangunan raga (fisik) peserta didik.
Refleksi Implementasi Arah Pendidikan Bangsa Idealisme arah pendidikan bangsa dalam tataran kebijakan tampaknya baru hanya sebatas slogan belaka. Praktek pendidikan yang berlangsung dewasa ini masih belum mencerminkan adanya refleksi dari implementasi aktualisasi kebijakan arah pendidikan nasional. Praktek pendidikan dewasa ini, secara faktual banyak melahirkan sumber daya manusia yang bermental korup, kurang percaya diri, dan tidak bermoral. Sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan memiliki kepribadian Pancasila masih belum banyak
didapatkan. Mengapa hal ini terjadi? Apa yang salah dengan praktek pendidikan kita? Terkait dengan fenomena praktek pendidikan dewasa ini, Tilaar (Damanik dan Hertanto,2009) menyampaikan sejumlah kritik dan koreksi terhadap praktek pendidikan nasional.
Pertama, ciri pendidikan nasional yang seharusnya didasarkan pada kebudayaan nasional kerap terabaikan. Pembentukan watak tidak lagi menjadi prioritas. Pendidikan hanya sibuk untuk membentuk anak-anak yang menang pada olimpiade-olimpiade saja, hanya membentuk intelektual dan kognisi saja.
Kedua, Poskolonialisme sangat kental dalam praktek pendidikan nasional dewasa ini, yaitu ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok (kelas-kelas) dalam pendidikan.
Ketiga, adanya nuansa pembohongan publik yang diumbar melalui iklan dan jargon sekolah gratis.
Keempat, Perguruan tinggi tidak lagi berkembang sebagai pusat pengembangan kebudayaan nasional, tetapi hanya sebagi pusat pelatihan.
Kelima, Konsep world class education dan manajemen pendidikan nasional menjadi kabur, karena bukan berorientasi pada kebutuhan anak Indonesia, melainkan sekadar untuk membentuk
anak mampu bersaing. Hal ini ditandai dengan belum munculnya sekolah menengah kejuruan (SMK) yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah. Jika koreksi yang disampaikan di atas tidak mendapatkan perhatian dan respon positif dari semua stakeholder pendidikan, maka pendidikan nasional hanya akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang tidak bermoral.
SDM yang dihasilkan hanyalah SDM yang cerdas inelektual atau kognisinya saja, tetapi memiliki moral yang buruk seperti egois, kurang mencintai budaya bangsa, hedonisme, kurang percaya diri, tidak mandiri dan bermental korup. Terkait dengan ini, Sajarwo danAnna (2012) menyatakan, “Saat ini pendidikan hanya dimaknai sebagai teknik manajerial persekolahan yang hanya menitik beratkan pada kemampuan kognitif dan meminggirkan pendidikan karakter bangsa. Pendidikan semacam itu dinilai hanya akan menghasilkan manusia yang individual, serakah, dan tidak memiliki rasa percaya diri.”Selain itu, juga akan terjadi pemborosan anggaran pendidikan. Triliunan dana APBN untuk bidang pendidikan hanya akan terbuang percuma, karena tidak mencapai sasaran pendidikan nasional. Praktek pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan anak dan daerah, sehingga hanya menghasilkan pengangguran intelektual.
Fitrian (2010) mengungkapkan, dewasa ini jumlah pengangguran berpendidikan sarjanan sangat tinggi mencapai (sekitar 1 juta orang) dari total 8-10% rakyat pengangguran. Menurutnya, pemicu pengangguran adalah kurangnya lapangan pekerjaan dan tidak sinkronnya antara pencari kerja dengan lapangan pekerjaan, yang disebabkan oleh sistem pendidikan atau arah pendidikan yang tidak jelas. Munculnya pengangguran intelektual akan lebih memperparah kondisi pembangunan bangsa. Penanganan pengangguran intelektual yang tidak berkarakter biasanya lebih sulit dari pada penangan pengangguran berpendidikan rendah. Hal ini terjadi, karena pada pengangguran berintelektual tinggi tetapi tidak berkarakter, biasanya merupakan SDM yang bercirikan: malas, mudah putus asa, tidak suka bekerja keras, konsumtif, serakah, dan tidak punya rasa percaya diri. Dalam rangka menghasilkan kualitas SDMIndonesia yang sesuai dengan kebijakan arah pendidikan nasional, perlu dikembangkan suatu kurikulum pendidikan yang tepat.
Dalam pengembangan kurikulum pendidikan harus termuat empat standar yang saling terkait, yaitu: (1) standar kompetensi (tujuan pendidikan), (2) standar isi (materi/tema pembelajaran), (3) standar proses, dan (4) standar evaluasi (penilaian). Dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan agar semua ranah pendidikan atau potensi peserta didik dapat dibangun dan dikembangkan. Selain itu, pengembangan kurikulum harus memperhatikan satandar pendukung pendidikan yang meliputi:
(1) standar sarana-prasarana, (2) standar tenaga pendidikan & kependidikan, (3) standar pembiayaan, dan (4) standar pengelolaan.
Secara umum desain pengembangan kurikulum yang terjadi di sekolah-sekolah dewasa ini lebih banyak menitik beratkan dalam pengembangan ranah pikir atau kognitif semata. Disusul kemudian yang sedikit mendapat perhatian yaitu pengembangan ranah raga (kinestetik) yang bersifat skillatau psikomotorik. Sementara untuk ranah potensirasa, karsa, dan religi yang menjadi muatan pendidikan moral/karakter dan bersifat afektif kurang mendapat perhatian. Kalaupun ada, untuk ranah rasa, karsa, dan religi ini baru dikembangkan sebatas pemenuhan aspek formalitas yang dituangkan dalam Rencana Program pembelajaran (RPP) berkarakter.
Melalui pemberlakuan RPP berkarakter yang dimulai pada tahun pelajaran 2011/2012 maka secara formal semua RPP yang dibuat oleh guru harus memuat nilai-nilai karakter dari ranah rasa, karsa atau religi yang dapat dikembangkan dalam suatu pembelajaran. Hanya saja nilai-nilai moral/karakter yang sudah diidentifikasi dapat dikembangkan dalam suatu RPP tersebut belum didukung dengan rancangan standar proses dan standar evaluasi yang sesuai.Rancangan kegiatan inti pembelajaran sebagai gambaran dari standar proses masih lebih diarahkan untuk mencapai pengembangan ranah pikir (kognitif) dan ranah raga psikomotor). Rancangan kegiatan intipembelajaran untuk mengembangkan ranah rasa, karsa, dan religi pendidikan moral/karakter) kurang tergambarkan secara jelas dan tepat.
Aminudin (2011: 28) menyatakan bahwa, metode pendidikan untuk membangun dan mengembangkan pendidikan moral (olah rasa, karsa dan religi) dapat dilakukan melalui beberapa metode seperti: metode keteladanan, metode pembiasaan, metode nasihat, metode pengawasan, dan metode live in (tinggal dalam komunitas). Fenomena ini juga terjadi dalam pengembangan standar evaluasi (penilaian). Bagaimana cara menilai ranah rasa, ranah karsa atau ranah religi tidak tampak dengan jelas. Kalaupun ada, gambaran standar evaluasi untuk ranah rasa, karsa, maupun religi,baru dilakukan para guru hanya menulis dengan metode pengamatan. Bagaimana cara mengamati, siapa yang mengamati, dan apa saja yang diamati masih banyak kurang dipahami oleh para guru.Muhyiddin (2012) menyatakan, “Dalam prakteknya, arah pendidikan nasional yang sudah berjalan selama ini 95% hanya menitik beratkan pada unsur kepandaian dan
intelektual saja, sedangkan unsur pembangunan moral hanya menjadi pendidikan skunder belaka.”
Pendidikan yang terjadi dan dilakukan di sekolah masih timpang. Pengembangan ranah pikir (kognitif) lebih mendapat perhatian dan porsi yang lebih besar, sementara ranah rasa, karsa dan religi terabaikan. Terlebihlagi dengan adanya sistem ujian nasional untuk beberapa mata pelajaran pada tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengaha atas atau sederajat. Secara tidak sadar, keberadaan ujian nasional telah menggiring para peserta didik, guru, atau masyarakat (orang tua) untuk mengutamakan olah pikir atau pengembangan intelektualitas (kognitif) semata dalam pendidikan.
Dalam upaya mengimplementasikan kebijakan arah pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam UUD 1945 dan undang-undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003, perlu dilakukan pengakajian keilmuan yang tepat dalam pengembangan persekolahan untuk level pendidikan menengah dan tinggi. Pembukaandan pengembangan SMK dan program studi di perguruan tinggi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi daerah. Achmad dalam Aditya (2011) mengatakan, “Indonesia perlu grand design spesifikasi arah keilmuan yang akan datang dan keilmuan didasarkan pula pada pertimbangan geografis. Misalnya wilayah Indonesia bagian timur, bidang ilmu yang dikembangkan meliputi energi, kehutanan, dan perikanan kelautan sehingga optimalisasi pembangunan wilayah bisa tercapai. “Untuk hal ini, pemerintah harus membuat peta potensi dan kebutuhan daerah, yang dijadikan sebagai dasar untuk membuat kebijakan pengembangan keilmuan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
Relevansi Pendidikan
Relevansi Pendidikan
Relevansi berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
Relevansi pendidikan adalah sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional. Lulusan pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Kriteria Relevansi
Masalah relevansi pendidikan mencangkup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang di gambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.
Lulusan pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beranekaragam seperti sektor produksi, sektor jasa, dan lain-lain. Baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Jika sistem pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik yang saktual (yang tersedia) maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Masalah Relevansi Pendidikan
Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
Faktor Penyebab Tidak Relevannya Pendidikan di Indonesia
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan Kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
Proses pembelajaran yang belum mampu menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas proses pelaksanaan pendidikan baik serta nyaman untuk pelajar.
Sarana dan prasarana dalam pendidikan.
Kurikulum sekolah yang terstruktur dan sarat dengan beban menjadikan proses belajar menjadi kaku dan tidak menarik.
Sistem yang berlaku pada saat sekarang ini juga tidak mampu membawa guru dan dosen untuk melakukan pembelajaran serta pengelolaan belajar menjadi lebih inovatif.
Tenaga pengajar yang kurang handal, bila dibandingkan dengan tenaga pengajar negara lain.
Tenaga kependidikan sebagai figur utama proses pendidikan.
Masalah pendidikan dan kualitas manajemen pendidikan.
Dampak dari Tidak Relevannya Pendidikan
Relevansi Pendidikan yaitu masalah yang berhubungan dengan relevansi (kesesuaian) pemilikan pengetahuan, keterampilan dan sikap lulusan suatu sekolah dengan kebutuhan masyarakat (kebutuhan tenaga kerja). Jika hal ini tidak terjadi maka hal inilah yang menimbulkan dampak yang di sebut dampak tidak relevannya pendidikan, yaitu:
Bagi perusahaan-perusahaan yang masih harus mengeluarkan dana untuk pendidikan atau pelatihan bagi calon karyawannya, karena mereka dinilai belum memiliki keterampilan kerja seperti yang diharapkan.
Banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya.
Banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
Jumlah angka pengangguran yang semakin meningkat di Indonesia.
Upaya Meningkatkan/Memperkuat Relevansi Pendidikan
Dalam rangka memperkuat akses pendidikan, beberapa tahun terakhir ini telah dilakukan berbagai upaya untuk terus meningkatkan partisipasi pendidikan sekaligus menurunkan kesenjangan taraf pendidikan antarkelompok masyarakat melalui, antara lain, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dengan memberikan perhatian lebih besar pada daerah tertinggal.
Upaya lain untuk meningkatkan relevansi pendidikan adalah dengan cara mengetahui minat perserta didik, bakat perserta didik, serta cita-cita perserta didik, agar kita bisa membimbing mereka untuk pencapaian kedepannya.
Menciptakan lapangan kerja baik untuk para pengangguran maupun lulusan-lulusan baru yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Membuka pelatihan-pelatihan baik pelatihan keterampilan maupun kursus bagi pengangguran agar mereka dapat melakukan kegiatan.
Bagi pemerintah sebaiknya menentukan kembali kurikulum berdasarkan kebutuhan manusia ketika akan memasuki dunia kerja.
Memperluas dunia kerja dari berbagai aspek kehidupan yang menjadi kebutuhan manusia.
Dapat di rinci penanggulangan relevansi pendidikan ini antara lain:
Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar artinya semua warga negara yang butuh pendidikan dapat ditampung dalam suatu satuan pendidikan.
Dapat mencapai hasil yang bermutu artinya: perencanaan, pemrosesan pendidikan dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Pelaksanaan kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler dilakukan dengan penuh kesungguhan dan diperhitungkan dalam penentuan nilai akhir ataupun kelulusan.
Relevansi berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
Relevansi pendidikan adalah sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional. Lulusan pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Kriteria Relevansi
Masalah relevansi pendidikan mencangkup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang di gambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.
Lulusan pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beranekaragam seperti sektor produksi, sektor jasa, dan lain-lain. Baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Jika sistem pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik yang saktual (yang tersedia) maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Masalah Relevansi Pendidikan
Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
Faktor Penyebab Tidak Relevannya Pendidikan di Indonesia
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan Kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
Proses pembelajaran yang belum mampu menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas proses pelaksanaan pendidikan baik serta nyaman untuk pelajar.
Sarana dan prasarana dalam pendidikan.
Kurikulum sekolah yang terstruktur dan sarat dengan beban menjadikan proses belajar menjadi kaku dan tidak menarik.
Sistem yang berlaku pada saat sekarang ini juga tidak mampu membawa guru dan dosen untuk melakukan pembelajaran serta pengelolaan belajar menjadi lebih inovatif.
Tenaga pengajar yang kurang handal, bila dibandingkan dengan tenaga pengajar negara lain.
Tenaga kependidikan sebagai figur utama proses pendidikan.
Masalah pendidikan dan kualitas manajemen pendidikan.
Dampak dari Tidak Relevannya Pendidikan
Relevansi Pendidikan yaitu masalah yang berhubungan dengan relevansi (kesesuaian) pemilikan pengetahuan, keterampilan dan sikap lulusan suatu sekolah dengan kebutuhan masyarakat (kebutuhan tenaga kerja). Jika hal ini tidak terjadi maka hal inilah yang menimbulkan dampak yang di sebut dampak tidak relevannya pendidikan, yaitu:
Bagi perusahaan-perusahaan yang masih harus mengeluarkan dana untuk pendidikan atau pelatihan bagi calon karyawannya, karena mereka dinilai belum memiliki keterampilan kerja seperti yang diharapkan.
Banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya.
Banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
Jumlah angka pengangguran yang semakin meningkat di Indonesia.
Upaya Meningkatkan/Memperkuat Relevansi Pendidikan
Dalam rangka memperkuat akses pendidikan, beberapa tahun terakhir ini telah dilakukan berbagai upaya untuk terus meningkatkan partisipasi pendidikan sekaligus menurunkan kesenjangan taraf pendidikan antarkelompok masyarakat melalui, antara lain, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dengan memberikan perhatian lebih besar pada daerah tertinggal.
Upaya lain untuk meningkatkan relevansi pendidikan adalah dengan cara mengetahui minat perserta didik, bakat perserta didik, serta cita-cita perserta didik, agar kita bisa membimbing mereka untuk pencapaian kedepannya.
Menciptakan lapangan kerja baik untuk para pengangguran maupun lulusan-lulusan baru yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Membuka pelatihan-pelatihan baik pelatihan keterampilan maupun kursus bagi pengangguran agar mereka dapat melakukan kegiatan.
Bagi pemerintah sebaiknya menentukan kembali kurikulum berdasarkan kebutuhan manusia ketika akan memasuki dunia kerja.
Memperluas dunia kerja dari berbagai aspek kehidupan yang menjadi kebutuhan manusia.
Dapat di rinci penanggulangan relevansi pendidikan ini antara lain:
Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar artinya semua warga negara yang butuh pendidikan dapat ditampung dalam suatu satuan pendidikan.
Dapat mencapai hasil yang bermutu artinya: perencanaan, pemrosesan pendidikan dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Pelaksanaan kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler dilakukan dengan penuh kesungguhan dan diperhitungkan dalam penentuan nilai akhir ataupun kelulusan.
Problematika Gender dalam Pendidikan
Problematika Gender dalam Pendidikan
Pendidikan tidak hanya dianggap dan dinyatakan sebagai unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa, melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat. Pendidikan harus menyentuh kebutuhan juga harus relavan dengan tuntutan zaman. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
kementerian Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut melalui perubahan kurikulum dan rupanya telah terakomodasi dalam kurikulum 2004, tinggal bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender meskipun pada kenyataannya masih membawa dampak bias gender dalam masyarakat yang berakibat pada kurang optimalnya sumber daya manusia, yang optimal yang unggul disegala bidang tanpa memandang jenis kelamin. (paksisgendut.files.wordpress.com)
Dengan demikian, pendidikan seharusnya memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat minat setiap individu, khususnya adalah perempuan. Materi dalam kurikulum pendidikan tidak hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang akan menjadikan nilai besar dalam kehidupan. Hal demikian juga merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan atau kesetaraan gender yang sesungguhnya.
Dalam aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, seperti aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, agama dan lainnya dapat dilihat bagaimana ketimpangan gender antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan masih banyak dalam realita. Salah satu aspek yang menunjukkan adanya bias gender dalam pendidikan dapat dilihat pada perumusan kurikulum dan juga rendahnya kualitas pendidikan. Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Walaupun pernyataan pasal tersebut mengandung arti bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam mengenyam pendidikan formal, namun dalam kenyatannya masih ada anggapan yang menghambat wanita untuk tidak ikutserta dalam pendidikan formal.
Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan laki-laki berada pada sektor publik sementara perempuan berada pada sektor domestik. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa belum bernuansa netral gender, baik dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi.
Dalam buku ajar, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Misalnya gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Bias gender juga dapat dilihat dalam gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Sedangkan dalam rumusan kalimat pun juga demikian. Kalimat seperti "Ayah membaca Koran di teras dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.
Beberapa alasan bahwa kualitas pendidikan yang rendah adalah diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:
Akses
Akses merupakan fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
Partisipasi
Aspek partisipasi di dalamnya mencangkup faktor bidang studi dan statistic pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.
Manfaat dan penguasaan
Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan. Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”nara sumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang tampak dalam kehidupan sekolah, di mana interaksi antara guru dengan guru, guru dengan murid, dan murid dengan murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.
Analisis Toeri Nuture Dalam Dunia Pendidikan
Teori gender ini dicetuskan pertama kali oleh John B. Watson pada tahun 1925 (catilla.wordpress.com). Menurut teori ini adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil dari konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut yang membuat perempuan tertinggal dan terabaikan. Kontribusi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. Seperti hal nya pada masyarakat kita, secara tidak langsung kesalahan gender yang terjadi sekian abad silam menjadi membudaya. Mulai dari zaman prasejarah yang menganggap bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, sehingga tugasnya hanya meramu dan menjaga anak. Dan dewasa ini perempuan masih juga di subordinasikan sebagai perempuan yang kurang mampu mengemban tugas yang dirasa berat, dikarenakan perempuan lebih cenderung lebih memakai perasaannya dibanding dengan logika
Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat. Yaitu terjadi ketidakadilan gender, maka beralih pada teori nature (Teori nature memandang perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh faktor-faktor biologis kedua jenis kelamin tersebut). Adanya ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun berdampak pula terhadap laki-laki. Hal ini sejalan dengan Marhaeni Tri (2011) menyatakan bahwa suatu system dan struktur yang disengaja atau tidak disengaja diciptakan oleh laki-laki dan untuk laki-laki. Karena masalah gender adalah masalah tentang sosial yang harus dibicarakan olah pihak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan menjadi semakin mendesak. Perempuan dan laki-laki harus mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Semua orang, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai hak atau kesempatan untuk sekolah lebih tinggi, tanpa memandang jenis kelamin.
Gender dewasa ini erat kaitannya dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk pada hak dalam pendidikan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan peran penuh pemerintah sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka terhadap gender.
Pendidikan tidak hanya dianggap dan dinyatakan sebagai unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa, melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat. Pendidikan harus menyentuh kebutuhan juga harus relavan dengan tuntutan zaman. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
kementerian Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut melalui perubahan kurikulum dan rupanya telah terakomodasi dalam kurikulum 2004, tinggal bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender meskipun pada kenyataannya masih membawa dampak bias gender dalam masyarakat yang berakibat pada kurang optimalnya sumber daya manusia, yang optimal yang unggul disegala bidang tanpa memandang jenis kelamin. (paksisgendut.files.wordpress.com)
Dengan demikian, pendidikan seharusnya memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat minat setiap individu, khususnya adalah perempuan. Materi dalam kurikulum pendidikan tidak hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang akan menjadikan nilai besar dalam kehidupan. Hal demikian juga merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan atau kesetaraan gender yang sesungguhnya.
Dalam aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, seperti aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, agama dan lainnya dapat dilihat bagaimana ketimpangan gender antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan masih banyak dalam realita. Salah satu aspek yang menunjukkan adanya bias gender dalam pendidikan dapat dilihat pada perumusan kurikulum dan juga rendahnya kualitas pendidikan. Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Walaupun pernyataan pasal tersebut mengandung arti bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam mengenyam pendidikan formal, namun dalam kenyatannya masih ada anggapan yang menghambat wanita untuk tidak ikutserta dalam pendidikan formal.
Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan laki-laki berada pada sektor publik sementara perempuan berada pada sektor domestik. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa belum bernuansa netral gender, baik dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi.
Dalam buku ajar, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Misalnya gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Bias gender juga dapat dilihat dalam gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Sedangkan dalam rumusan kalimat pun juga demikian. Kalimat seperti "Ayah membaca Koran di teras dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.
Beberapa alasan bahwa kualitas pendidikan yang rendah adalah diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:
Akses
Akses merupakan fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
Partisipasi
Aspek partisipasi di dalamnya mencangkup faktor bidang studi dan statistic pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.
Manfaat dan penguasaan
Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan. Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”nara sumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang tampak dalam kehidupan sekolah, di mana interaksi antara guru dengan guru, guru dengan murid, dan murid dengan murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.
Analisis Toeri Nuture Dalam Dunia Pendidikan
Teori gender ini dicetuskan pertama kali oleh John B. Watson pada tahun 1925 (catilla.wordpress.com). Menurut teori ini adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil dari konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut yang membuat perempuan tertinggal dan terabaikan. Kontribusi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. Seperti hal nya pada masyarakat kita, secara tidak langsung kesalahan gender yang terjadi sekian abad silam menjadi membudaya. Mulai dari zaman prasejarah yang menganggap bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, sehingga tugasnya hanya meramu dan menjaga anak. Dan dewasa ini perempuan masih juga di subordinasikan sebagai perempuan yang kurang mampu mengemban tugas yang dirasa berat, dikarenakan perempuan lebih cenderung lebih memakai perasaannya dibanding dengan logika
Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat. Yaitu terjadi ketidakadilan gender, maka beralih pada teori nature (Teori nature memandang perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh faktor-faktor biologis kedua jenis kelamin tersebut). Adanya ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun berdampak pula terhadap laki-laki. Hal ini sejalan dengan Marhaeni Tri (2011) menyatakan bahwa suatu system dan struktur yang disengaja atau tidak disengaja diciptakan oleh laki-laki dan untuk laki-laki. Karena masalah gender adalah masalah tentang sosial yang harus dibicarakan olah pihak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan menjadi semakin mendesak. Perempuan dan laki-laki harus mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Semua orang, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai hak atau kesempatan untuk sekolah lebih tinggi, tanpa memandang jenis kelamin.
Gender dewasa ini erat kaitannya dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk pada hak dalam pendidikan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan peran penuh pemerintah sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka terhadap gender.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia
Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, sesuai keputusan Komite Sekolah. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, sesuai keputusan Komite Sekolah. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
Langganan:
Postingan (Atom)