PENDIDIKAN DALAM KONTEKS TERORISME
Peristiwa runtuhnya gedung WTC di Amerika menandai adanya sebuah masa yang dihantui dengan isu terorisme. Isu tersebut masuk didalam praktik pendidikan secara tak terhindarkan.
Masa itu telah memberikan banyak kebijakan-kebijakan yang terkait dengan terorisme, selama itu pula praktik cultural di indonesia tidak bisa dilepaskan dari pemikiran tentang terorisme. Pada 2010 sebuah organisasi nirlaba lazuardi birru mengadakan symposium "memutus mata rantai radikalisme dan terorisme" dijakarta. Hasilnya, pemutusan mata rantai itu tidak bisa dilakukan dengan satu pendekatan. Dirumuskan, "pemecahan permasalahan radikalisme dan terorisme memerlukan pendekatan yang komprehensif dan lintas sektoral. Bukan refresif dari aparat keamanan saja, melainkan harus dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang persuasive dan humanis dari seluruh elemen bangsa. Sinergi para tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, tokoh agama, organisasi sosial kemasyarakatan (LSM), media masa dan masyarakat umum dalam setiap rencana aksi dan solusi sangat diperlukan.
Semua jadi percaya bahwa pemecahan masalah radikalisme diidonesia tidak bisa secara sebagian. Pernyataan itu bisa dibaca bahwa radikalisme adalah masalah mutidimensi, sebuah krisis sosial, budaya, ekonomi dan politik secara berturut-turut. Dipercayai pula bahwa penyebab adanya gerakan terorisme adalah radikalisme. Sebetulnya bila kita melihat arti secara umum gerakan radikal memiliki arti peyoratif sebagai gerakan radikal yang hendak mengubah tatanan masyarakat secara dramatis. Padahal secara historis pemikiran radikal adalah upaya mencari hal mendasar tentang pentingnya kebebasan berpendapat, pengaturan sumber daya, hingga pandangan politik tentang pentingnya kekuasaan untuk rakyat.
Ketika pemecahan masalah radikalisme tidak bisa dilakukan secara parsial maka fungsi-fungsi sosial dari satu institusi masyarakat dengan begitu haruslah mengacu pada institusi-institusi yang lain yang terkait langsung maupun yang tidak langsung. Dengan begitu sistem-sistem yang kemudian terlibat tidak bisa mengabaikan menejemen institusional, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, perencanaan program yang terintegrasi, hingga kepemimpinan yang kuat. Kita perlu mengembangkan sebuah sistem yang terpadu dan akurat untuk sebuah penyelesaian masalah. Tetapi pada saat yang sama hadirnya sistem tersebut tidaklah sekedar membalikan telapak tangan. Jadi pemecahan yang sinergis tetaplah harus dibaca sebagai meraba, mengabstraksikan, hingga membayangkan pola-pola dasar yang paling jauh dan paling mungkin dari gerak nalar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar