Pendidikan Atau Pengajaran Dewasa ini banyak orang kurang memahami arti pendidikan. Apa itu pendidikan? Pendidikan seringkali diartikan secara sempit sebagai pengajaran di sekolah. Bahkan lebih sempit lagi diartikan sebagai pengajaran di dalam kelas. Pendidikan seharusnya memiliki arti yang jauh lebih luas dari pada sekedar pengajaran. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 mendefinisikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam bahasa yang berbeda, “Bapak Pendidikan Nasional” Dewantara dalam Warli dan Yuliana (2011: 208) menyatakan bahwa, “... pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak.” Proses kegiatan pendidikan disebut dengan mendidik. Bentuk
-bentuk kegiatan mendidik banyak ragamnya tergantung pada aspek apa yang harus kita didik. M
engajar, membimbing, melatih, mengarahkan, memberi contoh, dan membiasakan merupakan contoh-contoh dari bentuk kegiatan mendidik. Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar yang disengaja, terencana, terpola, dan dapat dievaluasi, yang diberikan kepada peserta didik oleh pendidik agar tercapai kemampuan yang optimal. Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan yang ada dalam diri peserta didik. Potensi-potensi dimaksud diharapkan agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan bangsa. Oleh karena itu pendidikan bagi manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, mustahilmanusia dapat hidup berkembangsejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera dan bahagia. Dalam pendidikan terdapat upaya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam rangka mendewasakan atau mengembangkan potensi peserta didik. Setiap peserta didik memiliki potensi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, seharusnya pendidikan disesuaikan dengan kondisi setiap peserta didik. Model kegiatan pendidikan di sekolah yang lebih banyak menyeragamkan pola pengajaran secara klasikal, sesungguhnya kurang tepat. Model pembelajaran klasikal, dengan slogan “masuk bareng keluar bareng” menyalahi dari konsep pendidikan yang sesungguhnya. Pembelajaran di sekolah sebagai salah satu bentuk model pendidikan, seharusnya dilakukan dengan azas demokrasi. Dalam azas demokrasi, pendidikan harus berlangsung dan disesuaikan dengan potensi dan kecepatan daya tangkap masing-masing peserta didik. Pendidikan harus dilakukan dalam upaya mengembangkan semua ranah atau dimensi yang ada dalam diri peserta didik. Ada 5 (lima) potensi atau ranah pendidikan yang harus dikembangkan dalam diri setiap peserta didik yaitu: ranah pikir, ranah rasa, ranah karsa, ranah religi, dan ranah raga. Ranah pikir merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan akal pikiran dan penalaran. Potensi pikir peserta didik ada di dalam otak (brain) peserta didik. Ranah rasa merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan aspek emosional baik berupa amarah, kesedihan, ketenangan, maupun kegembiraan. Potensi rasa peserta didik ada di dalam hati sanubari (qolbu) peserta didik. Ranah karsa merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan dororangan jiwa untuk berkehendak atau berkeinginan. Potensi karsa peserta didik ada dalam jiwa (psikis) peserta didik. Ranah religi merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan kepercayaan dan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Potensi religi peserta didik ada dalam ruh atau “sejatinya hidup” peserta didik.
Ranah raga merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan gerak dan ketrampilan fisik. Potensi raga terletak pada seluruh anggota tubuh (fisik) yang dimiliki peserta didik. Untuk menghasilkan generasi bangsa yang yang berilmu, cakap dan bermoral maka proses pendidikan di sekolah harus memberikan fungsi yang berimbang antara pendidikan dan pengajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Wijayanto (2011) yang menyatakan, “Sekolah modern dalam melaksanakan fungsinya perlu memberi porsi seimbang antara pengajaran dan pendidikan. Pengajaran adalah lebih menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupannnya kelak. Sedang pendidikan lebih menyangkut aspek kepribadian.” Kegiatan pengajaran dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik yang terkait dengan potensi pikir (intelektual) dan potensi raga (kinestetik). Sementara, kegiatan pendidikan lebih ditekankan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik yang terkait potensi rasa, karsa dan religi (kecerdasan sosial, semengat jiwa, serta keimanan dan ketakwaan). Pola perimbangan antara aspek pengajaran dan pendidikan harus disesuaikan dengan setiap level/jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan level bawah seperti pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD), porsi aspek pendidikan harus lebih banyak dari pada aspek pengajaran. Sebaliknya untuk jenjang pendidikan tinggi, porsi aspek pengajaran harus lebih banyak dari pada aspek pendidikan. Proses pendidikan pada jenjang PAUD dan SD seharusnya lebih diutamakan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi moral peserta didik. Potensi moral yang harus dikembangkan meliputi moral diri (potensi karsa), moral sosial (potensi rasa), dan moral keimanan dan ketakwaan (potensi religi). Pola pembelajaran yang
dikembangkan harus lebih ditekankan pada proses keteladanan, kepeloporan dan pembiasaan. Hasil-hasil pendidikan yang diharapkan harus lebih diorientasikan untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian yang kuat, berakhlak mulia, serta beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, bukan sekedar menghasilkan peserta didik yang pandai berhitung, menulis dan membaca. Permasalahannya, apakah proses pendidikan yang ada sudah berlangsung seperti ini?Kebijakan Arah Pendidikan Bangsa Fenomena degradasi moral yang terjadi dan sedang melanda bangsa ini merupakan indikasi kegagalan pembangunan bidang pen
didikan. Korupsi sudah merajalela dan mewabah pada hampir seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pejabat hingga ke tukang parkir. Tindak kekerasan dan tawuran ada dimana-mana, mulai dari tawuran antar pelajar, tawuran antar supporter olah raga, tawuran antar sesame penonton pertunjukkan musik, tawuran antar warga, hingga tawuran antar sesama anggota DPR. Penyalahgunaan narkotika ada pada hampir semua lapisanmasyarakat, mulai dari pejabat, artis hingga pelajar dan rakyat jelata. Gaya hidup hedonisme, yang lebih mengutamakan dan mementingkan aspek materi dalam mengukur keberhasilan hidup seseorang telah menjangkit pada sebaian besar sendi-sendi masyarakat. Gambaran tersebut merupakan sebagian dari contoh-contoh penyakit moral bangsa yang sedang melanda bangsaIndonesia. Gambaran tersebut juga merupakan realita dari hasil pendidikan bangsa Indonesia yang sudah merdeka sejak 67 tahun yang lalu. Bahkan Salido (2011) menambahkan, “Selain kondisi yang terus terpuruk, bangsa Indonesia masih harus dibebani segopok citra buruk yang dipikulnya. Misalnya bangsa Indonesia
dijuluki sebagai bangsa kuli, bangsa terkorup di dunia, tidak disiplin, munafik, ceroboh, suka melempar tanggung jawab, dan berbagai hinaan lainnya.”Mengapa hal-hal tersebut terjadi? Apakah pembangunan pendidikan di Indonesia tidak punya arah yang jelas?
Arah Pendidikan di Indonesia.
Para pendiri bangsa telah menetapkan kebijakan arah pendidikan bangsa sejak ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai undang-undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Kebijakan arah pendidikan bangsa Indonesia dirumuskan sebagai
salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia merdeka seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu: “mencerdasakan kehidupan bangsa yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pola kebijakan pendidikan di Indonesia harus didasarkan pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia seperti yang tertuang pada Pancasila. Pendidikan di Indonesia harus diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berilmu dan cakap yang dilandasi kepribadian yang kuat, berakhlak mulia, serta beriman dan bertakwa kepa Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen mempertegas kebijakan arah pendidikan bangsa Indonesia yaitu, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Surakhmad (2009: 188) mengatakan, “Pendidikan nasional diciptakan untuk menjadi kekuatan yang menentukan dalam membangun bangsa berdasarkan cita-cita berbangsa sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD 1945.” Berdasarkan hal tersebut, maka sudah jelas bahwa arah pendidikan yang harus dikembangkan di Indonesia yaitu pendidikan yang tidak hanya sekedar menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas intelektualnya saja, melaikan juga harus disertai
dengan cerdas sosial, cerdas pribadi (kejiwaan), dan cerdas spiritualnya. Untuk maksud ini, Muhyidin (2012) mengatakan, Dalam menjalankan sistem pendidikan nasional haruslah dirancang mekanisme yang baik, terencana, terarah dan terintegrasi dalam misi peningkatan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, atau pembangunan moral. Jadi kebijakan arah pendidikan nasional bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan kualitas akhlak mulia serta keimanan dan ketakwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan kebijakan arah pendidikan tersebut, selanjutnya dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas ditetapkan tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia. Pasal 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Masa Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.”Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003 ada 9 (sembilan) karakter/ciri sumber daya manusia Indonesia yang dilahirkan melalui proses pendidikan nasional yaitu: beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Masa Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.
Kesembilan karakter manusia Indonesia initelah mencakup kelima ranah/potensi pendidikan. Pengembangan potensi pikir(kecerdasan intelektual) yaitu ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang berilmudan kreatif. Pengembangan potensi rasa (kecerdasan sosial)
ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menjadi warga Negara yang demokratis. Pengembangan potensi karsa (kecerdasan psikis/jiwa) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang mandiridan bertanggung jawab. Pengembangan potensi religi (kecerdasan spiritual) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Pengembangan potensi raga (kecerdasan kinestetik) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan cakap.
Arah pendidikan bangsa Indonesia sudah bersifat utuh dan menyeluruh meliputi semua ranah pendidikan yaitu bertujuan untuk mengembangkan semua potensi yang ada dalam diri peserta didik. Muhyiddin (2012) mengatakan, “Disamping untuk meningkatkan kepandaian dan intelektualitas, proses pendidikan juga harus dijiwai dengan nilai-nilai peningkatan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia, karena disinilah arah pendidikan nasional kita yang telah diatur undang-undang.” Pendidikan tidak hanya ditujukan untuk melahirkan generasi penerus bangsa yang cerdas menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi saja atau hanya sekedar cerdas intelektualnya saja. Pendidikan juga harus diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas sosial, cerdas pribadi/jiwa, cerdas spiritual, dan cerdas kinestetiknya. Untuk menghasilkan peserta didik yang menguasai ranah pikir (kecerdasan intelektual) yang tinggi, modelpendidikan dapat dilakukan dengan bentuk pengajaran dalam rangka transfer of knowledge. Sementara itu, upaya untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki ranah rasa (kecerdasan sosial), ranah karsa (kecerdasan jiwa/psikis), dan ranah religi (kecerdasan spiritual) yang tinggi, maka model pendidikan yang harus dikembangkan melalui pemberian contoh (keteladanan), kepeloporandan pembiasaan dalam rangka transfer of valueatau pembudayaan nilai-nilai karakter bangsa. Sedangkan upaya untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki ranah raga (kecerdasan kinestetik) yang tinggi, maka pendidikan dapat dilakukan melalui model latihan dan pembiasaan dalam rangka mengembangkan gerak reflek dan kecekatan bertindak. Dalam tataran kebijakan, arah pendidikan bangsa Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas. Secara yuridis, arah kebijakan bangsa Indonesia telah diatur dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat (3), dan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3. Dalam tataran kebijakan, arah pendidikan bangsa Indonesiamenuntut adanya keseimbangan antara pengembangan potensi fisik (raga) dan potensi pikir (intelektualitas) dengan pendidikan moral dalam rangka pengembangan potensi rasa, potensi karsa, dan potensi religi. Muhyiddin (2012) menyatakan, diperlukan keseimbangan antara membangun jiwanya dan membangun badannya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Wage Rudolf Supratman dalam lirik syair lagu Indonesia Raya yang berbunyi, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.” Bangunlah jiwanya memiliki arti untuk pembangunan moral bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Bangunlah badannya memiliki arti untuk pembangunan material, yang menyangkut pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, pembangunan intelektualitas, dan pembangunan raga (fisik) peserta didik.
Refleksi Implementasi Arah Pendidikan Bangsa Idealisme arah pendidikan bangsa dalam tataran kebijakan tampaknya baru hanya sebatas slogan belaka. Praktek pendidikan yang berlangsung dewasa ini masih belum mencerminkan adanya refleksi dari implementasi aktualisasi kebijakan arah pendidikan nasional. Praktek pendidikan dewasa ini, secara faktual banyak melahirkan sumber daya manusia yang bermental korup, kurang percaya diri, dan tidak bermoral. Sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan memiliki kepribadian Pancasila masih belum banyak
didapatkan. Mengapa hal ini terjadi? Apa yang salah dengan praktek pendidikan kita? Terkait dengan fenomena praktek pendidikan dewasa ini, Tilaar (Damanik dan Hertanto,2009) menyampaikan sejumlah kritik dan koreksi terhadap praktek pendidikan nasional.
Pertama, ciri pendidikan nasional yang seharusnya didasarkan pada kebudayaan nasional kerap terabaikan. Pembentukan watak tidak lagi menjadi prioritas. Pendidikan hanya sibuk untuk membentuk anak-anak yang menang pada olimpiade-olimpiade saja, hanya membentuk intelektual dan kognisi saja.
Kedua, Poskolonialisme sangat kental dalam praktek pendidikan nasional dewasa ini, yaitu ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok (kelas-kelas) dalam pendidikan.
Ketiga, adanya nuansa pembohongan publik yang diumbar melalui iklan dan jargon sekolah gratis.
Keempat, Perguruan tinggi tidak lagi berkembang sebagai pusat pengembangan kebudayaan nasional, tetapi hanya sebagi pusat pelatihan.
Kelima, Konsep world class education dan manajemen pendidikan nasional menjadi kabur, karena bukan berorientasi pada kebutuhan anak Indonesia, melainkan sekadar untuk membentuk
anak mampu bersaing. Hal ini ditandai dengan belum munculnya sekolah menengah kejuruan (SMK) yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah. Jika koreksi yang disampaikan di atas tidak mendapatkan perhatian dan respon positif dari semua stakeholder pendidikan, maka pendidikan nasional hanya akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang tidak bermoral.
SDM yang dihasilkan hanyalah SDM yang cerdas inelektual atau kognisinya saja, tetapi memiliki moral yang buruk seperti egois, kurang mencintai budaya bangsa, hedonisme, kurang percaya diri, tidak mandiri dan bermental korup. Terkait dengan ini, Sajarwo danAnna (2012) menyatakan, “Saat ini pendidikan hanya dimaknai sebagai teknik manajerial persekolahan yang hanya menitik beratkan pada kemampuan kognitif dan meminggirkan pendidikan karakter bangsa. Pendidikan semacam itu dinilai hanya akan menghasilkan manusia yang individual, serakah, dan tidak memiliki rasa percaya diri.”Selain itu, juga akan terjadi pemborosan anggaran pendidikan. Triliunan dana APBN untuk bidang pendidikan hanya akan terbuang percuma, karena tidak mencapai sasaran pendidikan nasional. Praktek pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan anak dan daerah, sehingga hanya menghasilkan pengangguran intelektual.
Fitrian (2010) mengungkapkan, dewasa ini jumlah pengangguran berpendidikan sarjanan sangat tinggi mencapai (sekitar 1 juta orang) dari total 8-10% rakyat pengangguran. Menurutnya, pemicu pengangguran adalah kurangnya lapangan pekerjaan dan tidak sinkronnya antara pencari kerja dengan lapangan pekerjaan, yang disebabkan oleh sistem pendidikan atau arah pendidikan yang tidak jelas. Munculnya pengangguran intelektual akan lebih memperparah kondisi pembangunan bangsa. Penanganan pengangguran intelektual yang tidak berkarakter biasanya lebih sulit dari pada penangan pengangguran berpendidikan rendah. Hal ini terjadi, karena pada pengangguran berintelektual tinggi tetapi tidak berkarakter, biasanya merupakan SDM yang bercirikan: malas, mudah putus asa, tidak suka bekerja keras, konsumtif, serakah, dan tidak punya rasa percaya diri. Dalam rangka menghasilkan kualitas SDMIndonesia yang sesuai dengan kebijakan arah pendidikan nasional, perlu dikembangkan suatu kurikulum pendidikan yang tepat.
Dalam pengembangan kurikulum pendidikan harus termuat empat standar yang saling terkait, yaitu: (1) standar kompetensi (tujuan pendidikan), (2) standar isi (materi/tema pembelajaran), (3) standar proses, dan (4) standar evaluasi (penilaian). Dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan agar semua ranah pendidikan atau potensi peserta didik dapat dibangun dan dikembangkan. Selain itu, pengembangan kurikulum harus memperhatikan satandar pendukung pendidikan yang meliputi:
(1) standar sarana-prasarana, (2) standar tenaga pendidikan & kependidikan, (3) standar pembiayaan, dan (4) standar pengelolaan.
Secara umum desain pengembangan kurikulum yang terjadi di sekolah-sekolah dewasa ini lebih banyak menitik beratkan dalam pengembangan ranah pikir atau kognitif semata. Disusul kemudian yang sedikit mendapat perhatian yaitu pengembangan ranah raga (kinestetik) yang bersifat skillatau psikomotorik. Sementara untuk ranah potensirasa, karsa, dan religi yang menjadi muatan pendidikan moral/karakter dan bersifat afektif kurang mendapat perhatian. Kalaupun ada, untuk ranah rasa, karsa, dan religi ini baru dikembangkan sebatas pemenuhan aspek formalitas yang dituangkan dalam Rencana Program pembelajaran (RPP) berkarakter.
Melalui pemberlakuan RPP berkarakter yang dimulai pada tahun pelajaran 2011/2012 maka secara formal semua RPP yang dibuat oleh guru harus memuat nilai-nilai karakter dari ranah rasa, karsa atau religi yang dapat dikembangkan dalam suatu pembelajaran. Hanya saja nilai-nilai moral/karakter yang sudah diidentifikasi dapat dikembangkan dalam suatu RPP tersebut belum didukung dengan rancangan standar proses dan standar evaluasi yang sesuai.Rancangan kegiatan inti pembelajaran sebagai gambaran dari standar proses masih lebih diarahkan untuk mencapai pengembangan ranah pikir (kognitif) dan ranah raga psikomotor). Rancangan kegiatan intipembelajaran untuk mengembangkan ranah rasa, karsa, dan religi pendidikan moral/karakter) kurang tergambarkan secara jelas dan tepat.
Aminudin (2011: 28) menyatakan bahwa, metode pendidikan untuk membangun dan mengembangkan pendidikan moral (olah rasa, karsa dan religi) dapat dilakukan melalui beberapa metode seperti: metode keteladanan, metode pembiasaan, metode nasihat, metode pengawasan, dan metode live in (tinggal dalam komunitas). Fenomena ini juga terjadi dalam pengembangan standar evaluasi (penilaian). Bagaimana cara menilai ranah rasa, ranah karsa atau ranah religi tidak tampak dengan jelas. Kalaupun ada, gambaran standar evaluasi untuk ranah rasa, karsa, maupun religi,baru dilakukan para guru hanya menulis dengan metode pengamatan. Bagaimana cara mengamati, siapa yang mengamati, dan apa saja yang diamati masih banyak kurang dipahami oleh para guru.Muhyiddin (2012) menyatakan, “Dalam prakteknya, arah pendidikan nasional yang sudah berjalan selama ini 95% hanya menitik beratkan pada unsur kepandaian dan
intelektual saja, sedangkan unsur pembangunan moral hanya menjadi pendidikan skunder belaka.”
Pendidikan yang terjadi dan dilakukan di sekolah masih timpang. Pengembangan ranah pikir (kognitif) lebih mendapat perhatian dan porsi yang lebih besar, sementara ranah rasa, karsa dan religi terabaikan. Terlebihlagi dengan adanya sistem ujian nasional untuk beberapa mata pelajaran pada tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengaha atas atau sederajat. Secara tidak sadar, keberadaan ujian nasional telah menggiring para peserta didik, guru, atau masyarakat (orang tua) untuk mengutamakan olah pikir atau pengembangan intelektualitas (kognitif) semata dalam pendidikan.
Dalam upaya mengimplementasikan kebijakan arah pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam UUD 1945 dan undang-undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003, perlu dilakukan pengakajian keilmuan yang tepat dalam pengembangan persekolahan untuk level pendidikan menengah dan tinggi. Pembukaandan pengembangan SMK dan program studi di perguruan tinggi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi daerah. Achmad dalam Aditya (2011) mengatakan, “Indonesia perlu grand design spesifikasi arah keilmuan yang akan datang dan keilmuan didasarkan pula pada pertimbangan geografis. Misalnya wilayah Indonesia bagian timur, bidang ilmu yang dikembangkan meliputi energi, kehutanan, dan perikanan kelautan sehingga optimalisasi pembangunan wilayah bisa tercapai. “Untuk hal ini, pemerintah harus membuat peta potensi dan kebutuhan daerah, yang dijadikan sebagai dasar untuk membuat kebijakan pengembangan keilmuan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar