Selasa, 27 Desember 2016

DIMANA HAKIKAT PENDIDIKAN

 DIMANA HAKIKAT PENDIDIKAN


Dewasa ini hampir setiap hari didapati berita mengenaskan di media massa, baik melalui media elektronik (televisi, radio, atauinternet) maupun media cetak (koran, tabloid, majalah, dan lain-lain).
Hampir setiap hari berita tentang tindak kekerasan, kejahatan seksual, korupsi, maupun penyalahgunaan narkotika disuguhkan oleh media massa. Banyak sekali berita mengenaskan yang disuguhkan seperti pejabat terlibat korupsi, tawuran antar warga, tawuran antar pelajar, tawuran antar supporter olah raga, tawuran antar sesama penonton pertunjukkan music, remaja terlibat narkoba, nyontek pada saat ujian nasional, dan lain-lain.
Fenomena ini sungguh sangat mengenaskan, seakan berada dalam kehidupan zaman primitive yang masih jauh dari masyarakat yang berperadaban. Apakah ini merupakan hasil dari proses pendidikan bangsa selama ini?
Fenomena-fenomena ini terjadi pada saat negeri ini telah merdeka sejak 67 tahun yang lalu. Usia kemerdekaan yang sudah cukup tua. Jika diibaratkan dengan usia hidup seorang manusia, maka 67 tahun merupakan usia yang sudah sangat matang. Bahkan anggaran untuk pendidikanpun sesuai amanat undang-undang dasar sudah ditingkatkan. Salah satu cita-cita bangsa Indonesia merdeka yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karenanya, sejalan dengan cita-cita kemerdekann bangsa Indonesia tersebut, maka pendidikan merupakan hal yang harus mendapat prioritas. Dalam upaya pembangunan bidang pendidikan ini, undang-undang dasar hasil amandemen telah mengamanatkan bahwa minimal 20% APBN/APBD diperuntukkan untuk bidang pendidikan. Harahap (2011) menyebutkan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 225,2 triliun atau 20% dari APBN tahun 2010, dan Rp 266,9 triliun atau 20,2% dari APBN tahun 2011.
Dalam upaya pembangunan bidang pendidikan, pemerintah telah menetapkan kebijakan WAJAR (wajib belajar) 9 tahun, bahkan untuk beberapa daerah tertentu telah menetapkan WAJAR 12 tahun. Melalui kebijakan ini, diharapkan bahwa setiap warga Negara Indonesia minimal berpendidikan sampai tingkat SMP (sekolah menengah pertama) atau sederajat. Selain program WAJAR 9 tahun, upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan angka partisipasi pendidikan masyarakat pun terus dikembangkan. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan pengadaan beasiswa-beasiswa, program bidik misi di perguruan tinggi, dan lain-lain. Masyarakat pun tidak tinggal diam. Banyak lembaga-lembaga masyarakatpun turut serta dalam meningkatkan angka partisipasi pendidikan ini. Lembaga pendidikan swasta seperti UNINDRA (Universitas Indraprasta PGRI) turut aktifmenyelenggagarkan pendidikan dengan dana yang terjangkau oleh masyarakat. Melalui program-program ini, maka angka partisipasi pendidikan masyarakat pun menjadi meningkat. Masyarakat yang mengenyam pendidikan dengan masa pendidikan hingga tingkat perguruan tinggipun semakin banyak.
Dengan semakin tingginya masyarakat yang berpendidikan, diharapkan akan tercipta masyarakat madani dan memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Masyarakat yang berpendidikan seharusnya lebih menekankan pada penggunaan rasionalisasi atau akal sehat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat. Namun yang terjadi saat ini tidak lah demikian. Perilaku korupsi, tawuran, gaya hidup hedonisme, cepat putus asa, egoisme, kurang percaya diri, penyalahgunaan narkotika dan kebiasaan menyontek atau plagiatisme di kalangan pelajar merupakan contoh-contoh perilaku masyarakat yang tengah merebak dewasa ini. Fenomena-fenomena ini merupakan gambaran yang tidak sejalan dengan harapan dari hasil-hasil pendidikan.
Kondisi kualitas sumber daya manusia (SDM) seperti di atas menyebabkan tingkat daya saing bangsa Indonesia dalam tataran dunia tergolong rendah. Suhendar (2012) menyampaikan bahwa dalam The Global Competitiveness Report 2011-2012 (laporan tahunan daya saing global tahun 2011-2012) yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF) menempatkan Indonesia pada posisi ke 46 dari 142 negara di dunia. Pada kawasan ASEAN posisi daya saing Indonesia berada posisi keempat di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Daya saing merupakan cerminan dari produktivitas kulitas sumber daya manusia yang dimiliki suatu bangsa. Lebih lanjut Suhendar (2012) menyampaikan, daya saing didefinisikan sebagai kondisi institusi, kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas ekonomi suatu negara. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi akan melahirkan produktivitas yang tinggi, dan akhirnya mencerminkan daya saing bangsa yang tinggi. Daya saing yang tinggi berpotensi untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar