MEMBANGUN PERADABAN BANGSA DENGAN PENDIDIKAN BERKARAKTER MORAL
Dunia memang sedang mencari keseimbangan. Ditengah maraknya fenomena perilaku amoral yang melibatkan peserta didik sebagai pelakunya, seperti seks pra-nikah, video porno, penyalahgunaan NAPZA dan minuman keras, tawuran, kekerasan perploncoan, penghinaan guru dan sesama murid melalui facebook. Bahkan kasus-kasus korupsi, kolusi dan manipulasi yang prevalensinya banyak melibatkan orang-orang terdidik dan terpelajar. Hal ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan yang idealnya melahirkan generasi-generasi terdidik dan beretika sekaligus menjadi musuh utama fenomena-fenomena perilaku amoral tersebut.
Mungkin hal inilah yang menjadi kekhawatiran para tokoh-tokoh dunia, seperti Mahatma Gandhi yang memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter). Begitu pula, Dr. Martin Luther King yang pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat). Bahkan pendidikan yang menghasilkan manusia berkarakter ini telah lama didengung-dengungkan oleh pandita pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, dengan pendidikan yang berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa. Bermakna bahwa pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan (knowledge) tetapi juga mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi kepentingan ummat manusia.
Berdasarkan latar belakang fenomena dan pendapat para tokoh inilah, dunia pendidikan saat ini mencoba mengevaluasi sistem pembelajarannya untuk menghasilkan manusia berkarakter. Proses pencarian jati diri sistem pendidikan, khususnya di Indonesia inilah yang merupakan arah untuk mencapai keseimbangan atau kondisi homeostatic yang relatif sebagaimana setiap manusia mempunyai keinginan untuk mencapainya. Di sinilah peran sekolah dan guru sebagai institusi pendidikan formal sebagai posisi yang ‘tertantang’ dalam menghadapi fenomena yang berkaitan dengan globalisasi dan degradasi moral.
Secara etimologis, istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu kharaseein, yang awalnya mengandung arti mengukir tanda di kertas atau lilin yang berfungsi sebagai pembeda (Bohlin, 2005). Istilah ini selanjutnya lebih merujuk secara umum pada bentuk khas yang membedakan sesuatu dengan yang lainnya. Dengan demikian, karakter dapat juga menunjukkan sekumpulan kualitas atau karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan diri seseorang dengan orang lain (Timpe, 2007).
Perkembangan berikutnya, pengetahuan tentang karakter banyak dipelajari pada ilmu-ilmu sosial. Dalam filsafat misalnya, istilah karakter biasa digunakan untuk merujuk dimensi moral seseorang. Salah satu contoh adalah ilmuwan Aristoteles yang sering menggunakan istilah ēthē untuk karakter yang secara etimologis berkaitan dengan “ethics” dan “morality”. Adapun ahli psikologi pun banyak yang mengajukan definisi karakter dari berbagai pendekatan. Ada yang menggunakan istilah karakter pada area moral saja, ada juga yang memakainya pada domain moral dan nonmoral. Menurut Hasting et al. (2007), karakter mempunyai domain moral dan nonmoral. Karakter berdomain moral ialah semua perilaku yang merujuk kepada hubungan interpersonal atau hubungan dengan orang lain. Contohnya, kasih sayang, empati, loyal, membantu dan peduli dengan orang lain (sifat-sifat feminis). Sedangkan karakter berdomain nonmoral adalah semua perilaku yang merujuk kepada pengembangan sifat-sifat dalam diri atau intrapersonal. Contohnya, disiplin, jujur, bertanggung jawab, pantang menyerah dan percaya diri (sifat-sifat maskulin). Baik karakter berdomain moral maupun nonmoral tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk membentuk kepribadian yang peka terhadap kepentingan sosial (prososial).
Karakter juga terkadang dipandang sebagai kepribadian dan/atau lebih bersifat perilaku. Banyak ilmuwan psikologi yang mengabaikan fungsi kognitif pada definisi mereka mengenai karakter, namun ada juga yang lebih bersifat komprehensif. Bahkan ada ilmuwan yang menyatakan bahwa karakter merupakan suatu konstruksi sosial. Menurut ahli konstruksi sosial, karakter seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam perkembangan moral pada manusia.
Salah satu definisi karakter yang cukup lugas dikemukakan oleh Berkowitz (2002), yaitu sekumpulan karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan seseorang dan membantu dirinya untuk dapat berfungsi secara moral. Dikarenakan sifat karakter yang plural, maka beberapa ahli pun membagi karakter itu ke dalam beberapa kategori. Peterson dan Seligman (2004) mengklasifikasikan kekuatan karakter menjadi 6 kelompok besar yang kemudian menurunkan 24 karakter, yaitu kognitif (wisdom and knowledge), emosional (courage/kesatriaan), interpersonal (humanity), hidup bersama (justice), menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan (temperance), dan spiritual (transcendence). Di Indonesia, sebuah lembaga yang bernama Indonesia Heritage Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada anak-anak untuk menjadikannya pribadi berkarakter. Megawangi menamakannya “9 Pilar Karakter”, yakni cinta Tuhan dan kebenaran; bertanggung jawab, kedisiplinan, dan mandiri; mempunyai amanah; bersikap hormat dan santun; mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama; percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah; mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan; baik dan rendah hati; mempunyai toleransi dan cinta damai.
Sedangkan pemahaman moral sendiri menurut Damon (1988) adalah aturan dalam berperilaku (code of conduct). Aturan tersebut berasal dari kesepakatan atau konsesus sosial yang bersifat universal. Moral yang bermuatan aturan universal tersebut bertujuan untuk pengembangan ke arah kepribadian yang positif (intrapersonal) dan hubungan manusia yang harmonis (interpersonal). Lebih lanjut, Nucci & Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu, indikator manusia yang berkarakter moral adalah:
Personal improvement; yaitu individu yang mempunyai kepribadian yang teguh terhadap aturan yang diinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian, ia tidak mudah goyah dengan pengaruh lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang diinternalisasi tersebut. Ciri kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia junjung tidak akan melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh oleh lingkungan sosial untuk mencontek, manipulasi dan korupsi.
Social skill; yaitu mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan sosialnya yang harmonis. Setiap nilai atau aturan universal tentunya akan mengarahkan manusia untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain. Contohnya, individu yang religius pasti akan berbuat baik untuk orang lain atau mengutamakan kepentingan ummat.
Comprehensive problem solving; yaitu sejauhmana individu dapat mengatasi konflik dilematis antara pengaruh lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas pribadinya terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu tersebut tetap mendasarkan keputusan/sikap/ tindakannya kepada nilai atau aturan yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak mau mengikuti teman-temannya mencontek saat tidak diawasi oleh guru karena ia tetap menjunjung tinggi nilai atau aturan yang berlaku (kejujuran). Meskipun sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku teman-temannya yang mencontek. Keluwesan dalam berfikir dan memahami inilah dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan tersebut benar atau salah.
Pendidikan memang berbeda dengan pengajaran. Perbedaan tersebut terletak pada ranah yang ‘disentuh’ oleh pendidikan dan pengajaran. Dalam terminologi pengajaran maka guru hanya memberikan ilmu sebatas dalam ranah pengetahuan (cognitive) kepada muridnya. Sedangkan dalam terminologi pendidikan maka guru memberikan ilmu dalam ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective), sikap (attitude) dan tindakan (action). Hal tersebut sebenarnya berdasarkan pemikiran filosofis dari Aristoteles (filusuf Yunani) yang mempunyai prinsip soul & body dualism, yaitu manusia hakikatnya terdiri dari dua elemen dasar, yaitu rohani dan ragawi. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya memberikan ‘asupan’ untuk raga (dalam hal ini direpresentasikan dengan otak) tetapi juga ‘asupan’ untuk rohani berupa moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau benar-salah.
Berdasarkan paparan pemahaman istilah di atas maka pemakalah mencoba mendefinisikan pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer pengetahuan, perasaan, penentuan sikap dan tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal sehingga peserta didik mempunyai kepribadian yang berintegritas tinggi terhadap nilai atau aturan tersebut dan mampu melakukan hubungan sosial yang harmonis tanpa mengesampingkan nilai atau aturan yang ia junjung tinggi tersebut. Sehingga pendidikan berkarakter moral ini dapat membantu peserta didik memahami kebaikan, mencintai kebaikan dan menjalankan kebaikan (know the good, love the good, and do the good). Dengan demikian, karakter sebagai pembeda antara orang terdidik dengan orang yang tidak terdidik terlihat dengan jelas dari tiga indikator output yang telah disebutkan. Oleh karena itu, pemakalah mempunyai perspektif yang berbeda dengan Hasting et al. (2007) yang membedakan karakter moral dan nonmoral. Berdasarkan definisi tersebut, justru pemakalah menggabungkan karakter domain moral dan nonmoral menjadi tiga indikator yang tidak dapat dipisahkan ketika ingin mengetahui ciri manusia yang berkarakter moral.
Perkembangan Karakter Moral Pada Manusia
Dalam psikologi perkembangan, selalu ada debat tentang masalah-masalah nature dan nurture. Artinya, para ahli senantiasa memiliki pendapat yang berbeda tentang apakah aspek-aspek pertumbuhan dan perkembangan manusia itu dibawa sejak lahir atau terbentuk dari lingkungan, mana yang lebih banyak mempengaruhi seorang individu, dan pertanyaan-pertanyaan serupa. Begitu pula halnya dengan perkembangan moral atau karakter seseorang, apakah karakter itu merupakan sesuatu yang bersifat herediter (bawaan lahir/keturunan) ataukah dapat dibentuk melalui didikan lingkungan. Perdebatan tersebut tidak pernah selesai dan mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban pasti. Satu hal yang jelas bahwa memang ada interaksi antara aspek nature dan nurture dalam perkembangan karakter individu, yang dibuktikan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli.
Faktor determinan karakter dapat berupa biologis/ herediter. Penelitian-penelitian untuk mengungkap pengaruh ini biasanya dilakukan pada subjek anak kembar dan adopsi serta bersifat longitudinal. Beberapa ahli telah membuktikan adanya pengaruh genetis yang cukup kuat terhadap karakter anak (Deater-Deckard & O’Connor, 2000; Plomin and McGuffin, 2003). Beberapa dimensi karakter seperti empati dan simpati juga banyak diamati melalui perspektif neurosains yang lebih mengarah kepada herediter (Caspi, dkk., 2003; Decety & Chaminade, 2003; Harris, 2003)
Di sisi lain, lingkungan keluarga membawa pengaruh yang cukup penting bagi pembentukan karakter anak. Kochanska, dkk. (2004) menyatakan bahwa kelekatan antara orangtua dan anak merupakan aspek yang sangat penting bagi awal perkembangan moral anak. Untuk selanjutnya, pengasuhan orangtua secara menyeluruh, meliputi relasi antara orangtua dan anak yang hangat dan responsif disertai penerimaan, dukungan, serta pemahaman akan membawa dampak terhadap karakter anak (Grusec, dkk., 2000; Kerr & Stattin, 2000; Kochanska, 2002; Zhou, dkk., 2002). Di samping itu, pola disiplin yang diterapkan orangtua juga merupakan hal yang penting (Kochanska, dkk., 2003). Dalam hal ini, disiplin akan mengontrol perilaku anak dan biasanya dikaitkan dengan konsekuensi negatif terhadap perilaku pelanggaran. Aspek yang paling penting dari penegakkan disiplin tersebut adalah konsekuensi yang logis terkait dengan pelanggaran yang dilakukan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Laible & Thompson (2000) bahwa disiplin yang menekankan pada penalaran dan logika akan mempercepat terjadinya internalisasi nilai-nilai pada anak.
Sekolah, sebagai lingkungan kedua, turut mempengaruhi konsep diri, keterampilan sosial, nilai, kematangan penalaran moral, perilaku prososial, pengetahuan tentang moralitas, dan sebagainya (Berkowitz, 2002). Adanya ikatan yang kuat dengan sekolah dan komunitasnya, termasuk juga kelekatan dengan guru, merupakan dasar bagi perkembangan prososial dan moral anak. Hawkins, dkk. (2001) menyatakan bahwa seorang anak akan menerapkan sebuah standar atau norma bila standar tersebut jelas dan disertai dengan adanya ikatan emosi, komitmen, dan kelekatan dengan sekolah. Dalam hal ini, sekolah perlu memiliki atmosfir moral dalam rangka meningkatkan tanggung jawab dan mengurangi pelanggaran di sekolah (Brugman, dkk., 2003). Di lingkungan sekolah, tentu saja anak mengalami perluasan aktivitas. Relasi dengan teman sebaya pun akan membawa dampak terhadap pembentukan karakter anak. Hubungan emosi yang kuat dan aktivitas bermain merupakan mediator bagi anak untuk mengembangkan karakter mereka (Dunn & Hughes, 2001; Howe, dkk., 2002; Killen, dkk., 2001; Theimer, dkk., 2001).
Tidak kalah pentingnya adalah pengaruh komunitas terhadap karakter anak-anak dan remaja. Televisi, sebagai salah satu bentuk media massa di dalam masyarakat, memberikan fasilitas peniruan melalui program-programnya. Pada umumnya, anak-anak dan remaja akan lebih mudah menerima informasi yang dilihat dan didengar. Anak dan remaja disajikan pada gambaran situasi tertentu yang disertai dengan reaksi yang seharusnya dilakukan, dan juga akibat dari reaksi tersebut. Apabila anak dan remaja terus-menerus melihat adegan-adegan negatif, maka mereka akan menganggap adegan tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Jika hal ini terus berlanjut, anak dan remaja akan melakukan adegan yang serupa. Dampak proses imitasi ini telah banyak diteliti, dalam kaitannya dengan perilaku-perilaku tertentu seperti agresi dan kekerasan (Huesmann, dkk., 2003; Robinson, dkk., 2001). Di sisi lain, televisi juga membentuk karakter positif anak, yaitu dalam hal perilaku prososial dan altruis (Mares & Woodard, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial mempunyai andil dalam pembentukan moral dan karakter anak dan remaja.Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan karakter moral seseorang akan dipengaruhi oleh interaksi antara bawaan yang bersifat herediter dengan faktor-faktor yang ada di lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar