Rabu, 28 Desember 2016

PENDIDIKAN DAN PEMBARUAN MASYARAKAT

PENDIDIKAN DAN PEMBARUAN MASYARAKAT

Ada para pendidik yang menaruh kepercayaan yang besar sekali akan kekuasaan pendidikan dalam membentuk masyarakat baru. Karena itu setiap anak diharapkan memasuki sekolah dan dapat diberikan ide-ide baru tentang masyarakat yang lebih indah dari pada yang sudah-sudah. Sekolah dapat merekontruksi atau mengubah dan membentuk kembali masyarakat baru.
Apakah harapan itu akan terpenuhi dapat dipertanyakan. Pihak yang berkuasa disuatu Negara yang pada umumnya menggunakan sekolah untuk mempertahankan dasar-dasar masyarakat yang ada. Perubahan yang diasasi tak akan terjadi tanpa persetujuan pihak yang berkuasa dan masyarakat.
Tak dapat diharapkan bahwa guru-gurulah akan mengambil inisiatif untuk mengadakan reformasi, oleh sebab guru itu sendiri diangkat oleh pihak yang berkuasa dan telah menerima norma-norma yang dipersyaratkan oleh atasannya. Perubahan yang dapat diadakan hanya kecil-kecilan saja dibawah pimpinan yang berwenang. Sekolah tak dapat melepaskan diri dari masyarakat tempat ia berada, dan dari kontrol pihak yang berkuasa. Sekolah hanya dapat mengikuti perkembangan dan perubahan masyarakat dan tak mungkin memplopori atau mendahuluinya. Jadi tidak ada harapan sekolah dapat membangun masyrakat baru lepas dari perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat tersebut.
Tentu saja sekolah dapat digunakan oleh yang berkuasa untuk mengadakan perubahan-perubahan radikal yang diiinginkan oleh pihak yang berkuasa itu. Sistem pendidikan adalah alat yang ampuh untuk mengindoktrinasi generasi mudar agar menciptakan suatu masyarakat menurut keinginan mereka yang mengontrolnya, perubahan kekuasaan dalam suatu Negara, misalnya oleh golongan yang menganut ideology lain akan memanfaatkan sekolah sebagai alat untuk membangun masyarakat baru menurut ideology mereka. untuk itu mereka selanjutnya harus cukup lama memegang kekuasaan untuk mengindoktrinasikan rakyat secara seluruhnya dan tuntas.
Dalam dunia yang dinamis ini tidak dapat tidak setiap masyrakat mengalami perubahan, tidak turut berubah mengikuti pertumbuhan zaman akan membahayakan eksistensi masyarakat tersebut. Tiap pemerintahan akan mengadakan perubahan yang diinginkan demi kesejahteraan rakyatnya dan keselamatan bangsa dan negaranya.

Pengaruh Industri terhadap pendidikan

Pengaruh Industri terhadap pendidikan

INDUSTRI DAN PENDIDIKAN
Hubungan antara industri dan pendidikan bersifat timbal-balik, serta memiliki pengaruh besar terhadap tenaga kerja yang telah terlatih atau calon tenaga kerja yang memiliki latar belakang dan tingkat pendidikan yang cukup memadai untuk mendapatkan suatu latihan, selain itu industri sendiri meinpunyai suatu sub sistem "pendidikan" yang khas, termasuk .kegiatan magang dan berbagai bentuk training.
PENGARUH INDUSTRI TERHADAP PENDIDIKAN
Pengaruh dari sektor industri terhadap sektor pendidikan ialah kecenderungan untuk menyusun dan menerapkan kurikulum serta materi pelajaran di dunia pendidikan (& pelatihan) agar sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Dan pihak industriawan menghendaki suatu metode pendidikan yang memungkinkan lulusan sekolah menjadi tenaga yg siap pakai.

PENILAIAN AUTENTIK

PENILAIAN AUTENTIK

Pengertian Penilaian Autentik
Penilaian Autentik adalah suatu istilah / terminologi yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif yang memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuanya dalam menyelesaikan tugas-tugas dan menyelesaikan masalah.
Contoh penilaian Autentik seperti meneliti,menulis,merevisi dan membahas artikel,memberikan analisis moral terhadapperistiwa,berkolaborasi dengan antar sesama melalui debat,dan sebagainya.
bentuk soal tes menggunakan standar tes berbasis norma,pilihan ganda,benar-salah,menjodohkan,atau membuat jawaban singkat.
Penilaian Autentik dapat dibuat oleh guru sendiri ,guru secara tim,atau guru bekerja sama dengan peserta didik.asumsinya peserta didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika mereka tahu bagaimana akan dinilai.penilaian Autentik mencoba menggabungkan kegitan guru mengajar ,kegiatan siswa belajar,motivasi dan keterlibatan peserta didik,serta keterampilan belajar.penilaian Autentik sering digambarkan sebagai penilaian atas perkembangan peserta didik karena berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana belajar tentang subjek.

Penilaian Autentik dan Belajar Autentik
Dalam pembelajaran Autentik ,peserta didik diminta mengumpulkan informasi dengan pendekatan saintifik.penilaian Autentik memandang penilaian dan pembelajaran adalah merupakan dua hal yang saling berkaitan

Jenis –jenis Penilaian Autentik
Penilaian sikap
Penilaian pengetahuan
Penilaian keterampilan

SEPERTI APA ARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

SEPERTI APA ARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

Pendidikan Atau Pengajaran Dewasa ini banyak orang kurang memahami arti pendidikan. Apa itu pendidikan? Pendidikan seringkali diartikan secara sempit sebagai pengajaran di sekolah. Bahkan lebih sempit lagi diartikan sebagai pengajaran di dalam kelas. Pendidikan seharusnya memiliki arti yang jauh lebih luas dari pada sekedar pengajaran. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 mendefinisikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam bahasa yang berbeda, “Bapak Pendidikan Nasional” Dewantara dalam Warli dan Yuliana (2011: 208) menyatakan bahwa, “... pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak.” Proses kegiatan pendidikan disebut dengan mendidik. Bentuk
-bentuk kegiatan mendidik banyak ragamnya tergantung pada aspek apa yang harus kita didik. M
engajar, membimbing, melatih, mengarahkan, memberi contoh, dan membiasakan merupakan contoh-contoh dari bentuk kegiatan mendidik. Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar yang disengaja, terencana, terpola, dan dapat dievaluasi, yang diberikan kepada peserta didik oleh pendidik agar tercapai kemampuan yang optimal. Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan yang ada dalam diri peserta didik. Potensi-potensi dimaksud diharapkan agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan bangsa. Oleh karena itu pendidikan bagi manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, mustahilmanusia dapat hidup berkembangsejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera dan bahagia. Dalam pendidikan terdapat upaya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam rangka mendewasakan atau mengembangkan potensi peserta didik. Setiap peserta didik memiliki potensi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, seharusnya pendidikan disesuaikan dengan kondisi setiap peserta didik. Model kegiatan pendidikan di sekolah yang lebih banyak menyeragamkan pola pengajaran secara klasikal, sesungguhnya kurang tepat. Model pembelajaran klasikal, dengan slogan “masuk bareng keluar bareng” menyalahi dari konsep pendidikan yang sesungguhnya. Pembelajaran di sekolah sebagai salah satu bentuk model pendidikan, seharusnya dilakukan dengan azas demokrasi. Dalam azas demokrasi, pendidikan harus berlangsung dan disesuaikan dengan potensi dan kecepatan daya tangkap masing-masing peserta didik. Pendidikan harus dilakukan dalam upaya mengembangkan semua ranah atau dimensi yang ada dalam diri peserta didik. Ada 5 (lima) potensi atau ranah pendidikan yang harus dikembangkan dalam diri setiap peserta didik yaitu: ranah pikir, ranah rasa, ranah karsa, ranah religi, dan ranah raga. Ranah pikir merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan akal pikiran dan penalaran. Potensi pikir peserta didik ada di dalam otak (brain) peserta didik. Ranah rasa merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan aspek emosional baik berupa amarah, kesedihan, ketenangan, maupun kegembiraan. Potensi rasa peserta didik ada di dalam hati sanubari (qolbu) peserta didik. Ranah karsa merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan dororangan jiwa untuk berkehendak atau berkeinginan. Potensi karsa peserta didik ada dalam jiwa (psikis) peserta didik. Ranah religi merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan kepercayaan dan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Potensi religi peserta didik ada dalam ruh atau “sejatinya hidup” peserta didik.
Ranah raga merupakan potensi peserta didik yang terkait dengan gerak dan ketrampilan fisik. Potensi raga terletak pada seluruh anggota tubuh (fisik) yang dimiliki peserta didik. Untuk menghasilkan generasi bangsa yang yang berilmu, cakap dan bermoral maka proses pendidikan di sekolah harus memberikan fungsi yang berimbang antara pendidikan dan pengajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Wijayanto (2011) yang menyatakan, “Sekolah modern dalam melaksanakan fungsinya perlu memberi porsi seimbang antara pengajaran dan pendidikan. Pengajaran adalah lebih menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupannnya kelak. Sedang pendidikan lebih menyangkut aspek kepribadian.” Kegiatan pengajaran dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik yang terkait dengan potensi pikir (intelektual) dan potensi raga (kinestetik). Sementara, kegiatan pendidikan lebih ditekankan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik yang terkait potensi rasa, karsa dan religi (kecerdasan sosial, semengat jiwa, serta keimanan dan ketakwaan). Pola perimbangan antara aspek pengajaran dan pendidikan harus disesuaikan dengan setiap level/jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan level bawah seperti pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD), porsi aspek pendidikan harus lebih banyak dari pada aspek pengajaran. Sebaliknya untuk jenjang pendidikan tinggi, porsi aspek pengajaran harus lebih banyak dari pada aspek pendidikan. Proses pendidikan pada jenjang PAUD dan SD seharusnya lebih diutamakan untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi moral peserta didik. Potensi moral yang harus dikembangkan meliputi moral diri (potensi karsa), moral sosial (potensi rasa), dan moral keimanan dan ketakwaan (potensi religi). Pola pembelajaran yang
dikembangkan harus lebih ditekankan pada proses keteladanan, kepeloporan dan pembiasaan. Hasil-hasil pendidikan yang diharapkan harus lebih diorientasikan untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian yang kuat, berakhlak mulia, serta beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, bukan sekedar menghasilkan peserta didik yang pandai berhitung, menulis dan membaca. Permasalahannya, apakah proses pendidikan yang ada sudah berlangsung seperti ini?Kebijakan Arah Pendidikan Bangsa Fenomena degradasi moral yang terjadi dan sedang melanda bangsa ini merupakan indikasi kegagalan pembangunan bidang pen
didikan. Korupsi sudah merajalela dan mewabah pada hampir seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pejabat hingga ke tukang parkir. Tindak kekerasan dan tawuran ada dimana-mana, mulai dari tawuran antar pelajar, tawuran antar supporter olah raga, tawuran antar sesame penonton  pertunjukkan musik, tawuran antar warga, hingga tawuran antar sesama anggota DPR. Penyalahgunaan narkotika ada pada hampir semua lapisanmasyarakat, mulai dari pejabat, artis hingga pelajar dan rakyat jelata. Gaya hidup hedonisme, yang lebih mengutamakan dan mementingkan aspek materi dalam mengukur keberhasilan hidup seseorang telah menjangkit pada sebaian besar sendi-sendi masyarakat. Gambaran tersebut merupakan sebagian dari contoh-contoh penyakit moral bangsa yang sedang melanda bangsaIndonesia. Gambaran tersebut juga merupakan realita dari hasil pendidikan bangsa Indonesia yang sudah merdeka sejak 67 tahun yang lalu. Bahkan Salido (2011) menambahkan, “Selain kondisi yang terus terpuruk, bangsa Indonesia masih harus dibebani segopok citra buruk yang dipikulnya. Misalnya bangsa Indonesia
dijuluki sebagai bangsa kuli, bangsa terkorup di dunia, tidak disiplin, munafik, ceroboh, suka melempar tanggung jawab, dan berbagai hinaan lainnya.”Mengapa hal-hal tersebut terjadi? Apakah pembangunan pendidikan di Indonesia tidak punya arah yang jelas?
Arah Pendidikan di Indonesia.
Para pendiri bangsa telah menetapkan kebijakan arah pendidikan bangsa sejak ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai undang-undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Kebijakan arah pendidikan bangsa Indonesia dirumuskan sebagai
salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia merdeka seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu: “mencerdasakan kehidupan bangsa yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pola kebijakan pendidikan di Indonesia harus didasarkan pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia seperti yang tertuang pada Pancasila. Pendidikan di Indonesia harus diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berilmu dan cakap yang dilandasi kepribadian yang kuat, berakhlak mulia, serta beriman dan bertakwa kepa Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen mempertegas kebijakan arah pendidikan bangsa Indonesia yaitu, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Surakhmad (2009: 188) mengatakan, “Pendidikan nasional diciptakan untuk menjadi kekuatan yang menentukan dalam membangun bangsa berdasarkan cita-cita berbangsa sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD 1945.”  Berdasarkan hal tersebut, maka sudah jelas bahwa arah pendidikan yang harus dikembangkan di Indonesia yaitu pendidikan yang tidak hanya sekedar menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas intelektualnya saja, melaikan juga harus disertai
dengan cerdas sosial, cerdas pribadi (kejiwaan), dan cerdas spiritualnya. Untuk maksud ini, Muhyidin (2012) mengatakan, Dalam menjalankan sistem pendidikan nasional haruslah dirancang mekanisme yang baik, terencana, terarah dan terintegrasi dalam misi peningkatan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, atau pembangunan moral. Jadi kebijakan arah pendidikan nasional bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan kualitas akhlak mulia serta keimanan dan ketakwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan kebijakan arah pendidikan tersebut, selanjutnya dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas ditetapkan tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia. Pasal 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Masa Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.”Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003 ada 9 (sembilan) karakter/ciri sumber daya manusia Indonesia yang dilahirkan melalui proses pendidikan nasional yaitu: beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Masa Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,  mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis, dan bertanggung jawab.
Kesembilan karakter manusia Indonesia initelah mencakup kelima ranah/potensi pendidikan. Pengembangan potensi pikir(kecerdasan intelektual) yaitu ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang berilmudan kreatif. Pengembangan potensi rasa (kecerdasan sosial)
ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menjadi warga Negara yang demokratis. Pengembangan potensi karsa (kecerdasan psikis/jiwa) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang mandiridan bertanggung jawab. Pengembangan potensi religi (kecerdasan spiritual) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Pengembangan potensi raga (kecerdasan kinestetik) ditandai dengan dihasilkannya sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan cakap.
Arah pendidikan bangsa Indonesia sudah bersifat utuh dan menyeluruh meliputi semua ranah pendidikan yaitu bertujuan untuk mengembangkan semua potensi yang ada dalam diri peserta didik. Muhyiddin (2012) mengatakan, “Disamping untuk meningkatkan kepandaian dan intelektualitas, proses pendidikan juga harus dijiwai dengan nilai-nilai peningkatan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia, karena disinilah arah pendidikan nasional kita yang telah diatur undang-undang.”  Pendidikan tidak hanya ditujukan untuk melahirkan generasi penerus bangsa yang cerdas menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi saja atau hanya sekedar cerdas intelektualnya saja. Pendidikan juga harus diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas sosial, cerdas pribadi/jiwa, cerdas spiritual, dan cerdas kinestetiknya. Untuk menghasilkan peserta didik yang menguasai ranah pikir (kecerdasan intelektual) yang tinggi, modelpendidikan dapat dilakukan dengan bentuk pengajaran dalam rangka transfer of knowledge. Sementara itu, upaya untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki ranah rasa (kecerdasan sosial), ranah karsa (kecerdasan jiwa/psikis), dan ranah religi (kecerdasan spiritual) yang tinggi, maka model pendidikan yang harus dikembangkan melalui pemberian contoh (keteladanan), kepeloporandan pembiasaan dalam rangka transfer of valueatau pembudayaan nilai-nilai karakter bangsa. Sedangkan upaya untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki ranah raga (kecerdasan kinestetik) yang tinggi, maka pendidikan dapat dilakukan melalui model latihan dan pembiasaan dalam rangka mengembangkan gerak reflek dan kecekatan bertindak. Dalam tataran kebijakan, arah pendidikan bangsa Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas. Secara yuridis, arah kebijakan bangsa Indonesia telah diatur dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat (3), dan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3. Dalam tataran kebijakan, arah pendidikan bangsa Indonesiamenuntut adanya keseimbangan antara pengembangan potensi fisik (raga) dan potensi pikir (intelektualitas) dengan pendidikan moral dalam rangka pengembangan potensi rasa, potensi karsa, dan potensi religi. Muhyiddin (2012) menyatakan, diperlukan keseimbangan antara membangun jiwanya dan membangun badannya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Wage Rudolf Supratman dalam lirik syair lagu Indonesia Raya yang berbunyi, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.” Bangunlah jiwanya memiliki arti untuk pembangunan moral bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Bangunlah badannya memiliki arti untuk pembangunan material, yang menyangkut pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, pembangunan intelektualitas, dan pembangunan raga (fisik) peserta didik.
Refleksi Implementasi Arah Pendidikan Bangsa Idealisme arah pendidikan bangsa dalam tataran kebijakan tampaknya baru hanya sebatas slogan belaka. Praktek pendidikan yang berlangsung dewasa ini masih belum mencerminkan adanya refleksi dari implementasi aktualisasi kebijakan arah pendidikan nasional. Praktek pendidikan dewasa ini, secara faktual banyak melahirkan sumber daya manusia yang bermental korup, kurang percaya diri, dan tidak bermoral. Sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan memiliki kepribadian Pancasila masih belum banyak
didapatkan. Mengapa hal ini terjadi? Apa yang salah dengan praktek pendidikan kita? Terkait dengan fenomena praktek pendidikan dewasa ini, Tilaar (Damanik dan Hertanto,2009) menyampaikan sejumlah kritik dan koreksi terhadap praktek pendidikan nasional.
Pertama, ciri pendidikan nasional yang seharusnya didasarkan pada kebudayaan nasional kerap terabaikan. Pembentukan watak tidak lagi menjadi prioritas. Pendidikan hanya sibuk untuk membentuk anak-anak yang menang pada olimpiade-olimpiade saja, hanya membentuk intelektual dan kognisi saja.
Kedua, Poskolonialisme sangat kental dalam praktek pendidikan nasional dewasa ini, yaitu ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok (kelas-kelas) dalam pendidikan.
Ketiga, adanya nuansa pembohongan publik yang diumbar melalui iklan dan jargon sekolah gratis.
Keempat, Perguruan tinggi tidak lagi berkembang sebagai pusat pengembangan kebudayaan  nasional, tetapi hanya sebagi pusat pelatihan.
Kelima, Konsep world class education dan manajemen pendidikan nasional menjadi kabur, karena bukan berorientasi pada kebutuhan anak Indonesia, melainkan sekadar untuk membentuk
anak mampu bersaing. Hal ini ditandai dengan belum munculnya sekolah menengah kejuruan (SMK) yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah. Jika koreksi yang disampaikan di atas tidak mendapatkan perhatian dan respon positif dari semua stakeholder pendidikan, maka pendidikan nasional hanya akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang tidak bermoral.
SDM yang dihasilkan hanyalah SDM yang cerdas inelektual atau kognisinya saja, tetapi memiliki moral yang buruk seperti egois, kurang mencintai budaya bangsa, hedonisme, kurang percaya diri, tidak mandiri dan bermental korup. Terkait dengan ini, Sajarwo danAnna (2012) menyatakan, “Saat ini pendidikan hanya dimaknai sebagai teknik manajerial persekolahan yang hanya menitik beratkan pada kemampuan kognitif dan meminggirkan pendidikan karakter bangsa. Pendidikan semacam itu dinilai hanya akan menghasilkan manusia yang individual, serakah, dan tidak memiliki rasa percaya diri.”Selain itu, juga akan terjadi pemborosan anggaran pendidikan. Triliunan dana APBN untuk bidang pendidikan hanya akan terbuang percuma, karena tidak mencapai sasaran pendidikan nasional. Praktek pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan anak dan daerah, sehingga hanya menghasilkan pengangguran intelektual.
Fitrian (2010) mengungkapkan, dewasa ini jumlah pengangguran berpendidikan sarjanan sangat tinggi mencapai (sekitar 1 juta orang) dari total 8-10% rakyat pengangguran. Menurutnya, pemicu pengangguran adalah kurangnya lapangan pekerjaan dan tidak sinkronnya antara pencari kerja dengan lapangan pekerjaan, yang disebabkan oleh sistem pendidikan atau arah pendidikan yang tidak jelas. Munculnya pengangguran intelektual akan lebih memperparah kondisi pembangunan bangsa. Penanganan pengangguran intelektual yang tidak berkarakter biasanya lebih sulit dari pada penangan pengangguran berpendidikan rendah. Hal ini terjadi, karena pada pengangguran berintelektual tinggi tetapi tidak berkarakter, biasanya merupakan SDM yang bercirikan: malas, mudah putus asa, tidak suka bekerja keras, konsumtif, serakah, dan tidak punya rasa percaya diri. Dalam rangka menghasilkan kualitas SDMIndonesia yang sesuai dengan  kebijakan arah pendidikan nasional, perlu dikembangkan suatu kurikulum pendidikan yang tepat.
Dalam pengembangan kurikulum pendidikan harus termuat empat standar yang saling terkait, yaitu: (1) standar kompetensi (tujuan pendidikan), (2) standar isi (materi/tema pembelajaran), (3) standar proses, dan (4) standar evaluasi (penilaian). Dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan agar semua ranah pendidikan atau potensi peserta didik dapat dibangun dan dikembangkan. Selain itu, pengembangan kurikulum harus memperhatikan satandar pendukung pendidikan yang meliputi:
 (1) standar sarana-prasarana, (2) standar tenaga pendidikan & kependidikan, (3) standar pembiayaan, dan (4) standar pengelolaan.
Secara umum desain pengembangan kurikulum yang terjadi di sekolah-sekolah dewasa ini lebih banyak menitik beratkan dalam pengembangan ranah pikir atau kognitif semata. Disusul kemudian yang sedikit mendapat perhatian yaitu pengembangan ranah raga (kinestetik) yang bersifat skillatau psikomotorik. Sementara untuk ranah potensirasa, karsa, dan religi yang menjadi muatan pendidikan moral/karakter dan bersifat afektif kurang mendapat perhatian. Kalaupun ada, untuk ranah rasa, karsa, dan religi ini baru dikembangkan sebatas pemenuhan aspek formalitas yang dituangkan dalam Rencana Program pembelajaran (RPP) berkarakter.
Melalui pemberlakuan RPP berkarakter yang dimulai pada tahun pelajaran 2011/2012 maka secara formal semua RPP yang dibuat oleh guru harus memuat nilai-nilai karakter dari ranah rasa, karsa atau religi yang dapat dikembangkan dalam suatu pembelajaran. Hanya saja nilai-nilai moral/karakter yang sudah diidentifikasi dapat dikembangkan dalam suatu RPP tersebut belum didukung dengan rancangan standar proses dan standar evaluasi yang sesuai.Rancangan kegiatan inti pembelajaran sebagai gambaran dari standar proses masih lebih diarahkan untuk mencapai pengembangan ranah pikir (kognitif) dan ranah raga psikomotor). Rancangan kegiatan intipembelajaran untuk mengembangkan ranah rasa, karsa, dan religi pendidikan moral/karakter) kurang tergambarkan secara jelas dan tepat.
Aminudin (2011: 28) menyatakan bahwa, metode pendidikan untuk membangun dan mengembangkan pendidikan moral (olah rasa, karsa dan religi) dapat dilakukan melalui beberapa metode seperti: metode keteladanan, metode pembiasaan, metode nasihat, metode pengawasan, dan metode live in (tinggal dalam komunitas). Fenomena ini juga terjadi dalam pengembangan standar evaluasi (penilaian). Bagaimana cara menilai ranah rasa, ranah karsa atau ranah religi tidak tampak dengan jelas. Kalaupun ada, gambaran standar evaluasi untuk ranah rasa, karsa, maupun religi,baru dilakukan para guru hanya menulis dengan metode pengamatan. Bagaimana cara mengamati, siapa yang mengamati, dan apa saja yang diamati masih banyak kurang dipahami oleh para guru.Muhyiddin (2012) menyatakan, “Dalam prakteknya, arah pendidikan nasional yang sudah berjalan selama ini 95% hanya menitik beratkan pada unsur kepandaian dan
intelektual saja, sedangkan unsur pembangunan moral hanya menjadi pendidikan skunder belaka.”
Pendidikan yang terjadi dan dilakukan di sekolah masih timpang. Pengembangan ranah pikir (kognitif) lebih mendapat perhatian dan porsi yang lebih besar, sementara ranah rasa, karsa dan religi terabaikan. Terlebihlagi dengan adanya sistem ujian nasional untuk beberapa mata pelajaran pada tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengaha atas atau sederajat. Secara tidak sadar, keberadaan ujian nasional telah menggiring para peserta didik, guru, atau masyarakat (orang tua) untuk mengutamakan olah pikir atau pengembangan intelektualitas (kognitif) semata dalam pendidikan.
Dalam upaya mengimplementasikan kebijakan arah pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam UUD 1945 dan undang-undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003, perlu dilakukan pengakajian keilmuan yang tepat dalam pengembangan persekolahan untuk level pendidikan menengah dan tinggi. Pembukaandan pengembangan SMK dan program studi di perguruan tinggi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi daerah. Achmad dalam Aditya (2011) mengatakan, “Indonesia perlu grand design spesifikasi arah keilmuan yang akan datang dan keilmuan didasarkan pula pada pertimbangan geografis. Misalnya wilayah Indonesia bagian timur, bidang ilmu yang dikembangkan meliputi energi, kehutanan, dan perikanan kelautan sehingga optimalisasi pembangunan wilayah bisa tercapai. “Untuk hal ini, pemerintah harus membuat peta potensi dan kebutuhan daerah, yang dijadikan sebagai dasar untuk membuat kebijakan pengembangan keilmuan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.

Relevansi Pendidikan

 Relevansi Pendidikan

         Relevansi berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
         Relevansi pendidikan adalah sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional. Lulusan pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Kriteria Relevansi
Masalah relevansi pendidikan mencangkup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang di gambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.
Lulusan pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beranekaragam seperti sektor produksi, sektor jasa, dan lain-lain. Baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Jika sistem pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik yang saktual (yang tersedia) maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Masalah Relevansi Pendidikan
Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
Faktor Penyebab Tidak Relevannya Pendidikan di Indonesia
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan Kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor  diantaranya:
Proses pembelajaran yang belum mampu menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas proses pelaksanaan pendidikan baik serta nyaman untuk pelajar.
Sarana dan prasarana dalam pendidikan.
Kurikulum sekolah yang terstruktur dan sarat dengan beban menjadikan proses belajar menjadi kaku dan tidak menarik.
Sistem yang berlaku pada saat sekarang ini juga tidak mampu membawa guru dan dosen untuk melakukan pembelajaran serta pengelolaan belajar menjadi lebih inovatif.
Tenaga pengajar yang kurang handal, bila dibandingkan dengan tenaga pengajar negara lain.
Tenaga kependidikan sebagai figur utama proses pendidikan.
Masalah pendidikan dan kualitas manajemen pendidikan.
Dampak dari Tidak Relevannya Pendidikan
Relevansi Pendidikan yaitu masalah yang berhubungan dengan relevansi (kesesuaian) pemilikan pengetahuan, keterampilan dan sikap lulusan suatu sekolah dengan kebutuhan masyarakat (kebutuhan tenaga kerja). Jika hal ini tidak terjadi maka hal inilah yang menimbulkan dampak yang di sebut dampak tidak relevannya pendidikan, yaitu:
Bagi perusahaan-perusahaan yang masih harus mengeluarkan dana untuk pendidikan atau pelatihan bagi calon karyawannya, karena mereka dinilai belum memiliki keterampilan kerja seperti yang diharapkan.
Banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya.
Banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
Jumlah angka pengangguran yang semakin meningkat di Indonesia.
Upaya Meningkatkan/Memperkuat Relevansi Pendidikan
Dalam rangka memperkuat akses pendidikan, beberapa tahun terakhir ini telah dilakukan berbagai upaya untuk terus meningkatkan partisipasi pendidikan sekaligus menurunkan kesenjangan taraf pendidikan antarkelompok masyarakat melalui, antara lain, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dengan memberikan perhatian lebih besar pada daerah tertinggal.
Upaya lain untuk meningkatkan relevansi pendidikan adalah dengan cara mengetahui minat perserta didik, bakat perserta didik, serta cita-cita perserta didik, agar kita bisa membimbing mereka untuk pencapaian kedepannya.
Menciptakan lapangan kerja baik untuk para pengangguran maupun lulusan-lulusan baru yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Membuka pelatihan-pelatihan baik pelatihan keterampilan maupun kursus bagi pengangguran agar mereka dapat melakukan kegiatan.
Bagi pemerintah sebaiknya menentukan kembali kurikulum berdasarkan kebutuhan manusia ketika akan memasuki dunia kerja.
Memperluas dunia kerja dari berbagai aspek kehidupan yang menjadi kebutuhan manusia.
Dapat di rinci penanggulangan relevansi pendidikan ini antara lain:
Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar artinya semua warga negara yang butuh pendidikan dapat ditampung dalam suatu satuan pendidikan.
Dapat mencapai hasil yang bermutu artinya: perencanaan, pemrosesan pendidikan dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Pelaksanaan kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler dilakukan dengan penuh kesungguhan dan diperhitungkan dalam penentuan nilai akhir ataupun kelulusan.

Problematika Gender dalam Pendidikan



Problematika Gender dalam Pendidikan

Pendidikan tidak hanya dianggap dan dinyatakan sebagai unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa, melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat. Pendidikan harus menyentuh kebutuhan juga harus relavan dengan tuntutan zaman. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
kementerian Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut melalui perubahan kurikulum dan rupanya telah terakomodasi dalam kurikulum 2004, tinggal bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender meskipun pada kenyataannya masih membawa dampak bias gender dalam masyarakat yang berakibat pada kurang optimalnya sumber daya manusia, yang optimal yang unggul disegala bidang tanpa memandang jenis kelamin. (paksisgendut.files.wordpress.com)
Dengan demikian, pendidikan seharusnya memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat minat setiap individu, khususnya adalah perempuan. Materi dalam kurikulum pendidikan tidak hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang akan menjadikan nilai besar dalam kehidupan. Hal demikian juga merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan atau kesetaraan gender yang sesungguhnya.
 Dalam aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, seperti aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, agama dan lainnya dapat dilihat bagaimana ketimpangan gender antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan masih banyak dalam realita. Salah satu aspek yang menunjukkan adanya bias gender dalam pendidikan dapat dilihat pada perumusan kurikulum dan juga rendahnya kualitas pendidikan. Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Walaupun pernyataan pasal tersebut mengandung arti bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam mengenyam pendidikan formal, namun dalam kenyatannya masih ada anggapan yang menghambat wanita untuk tidak ikutserta dalam pendidikan formal.
Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan laki-laki berada pada sektor publik sementara perempuan berada pada sektor domestik. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa belum bernuansa netral gender, baik dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi.
Dalam buku ajar, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Misalnya gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Bias gender juga dapat dilihat dalam gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Sedangkan dalam rumusan kalimat pun juga demikian. Kalimat seperti "Ayah membaca Koran di teras dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.
Beberapa alasan bahwa kualitas pendidikan yang rendah adalah diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:
Akses
Akses merupakan fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
Partisipasi
Aspek partisipasi di dalamnya mencangkup faktor bidang studi dan statistic pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.
Manfaat dan penguasaan
Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan. Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”nara sumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang tampak dalam kehidupan sekolah, di mana interaksi antara guru dengan guru, guru dengan murid, dan murid dengan murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.
  Analisis Toeri Nuture Dalam Dunia Pendidikan
Teori gender ini dicetuskan pertama kali oleh John B. Watson pada tahun 1925 (catilla.wordpress.com). Menurut teori ini adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil dari konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut yang membuat perempuan tertinggal dan terabaikan. Kontribusi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. Seperti hal nya pada masyarakat kita, secara tidak langsung kesalahan gender yang terjadi sekian abad silam menjadi membudaya. Mulai dari zaman prasejarah yang menganggap bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, sehingga tugasnya hanya meramu dan menjaga anak. Dan dewasa ini perempuan masih juga di subordinasikan sebagai perempuan yang kurang mampu mengemban tugas yang dirasa berat, dikarenakan perempuan lebih cenderung lebih memakai perasaannya dibanding dengan logika
Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture  yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat. Yaitu terjadi ketidakadilan gender, maka beralih pada teori nature (Teori nature memandang perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh faktor-faktor biologis kedua jenis kelamin tersebut). Adanya ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun berdampak pula terhadap laki-laki. Hal ini sejalan dengan Marhaeni Tri (2011) menyatakan bahwa suatu system dan struktur yang disengaja atau tidak disengaja diciptakan oleh laki-laki dan untuk laki-laki. Karena masalah gender adalah masalah tentang sosial yang harus dibicarakan olah pihak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan menjadi semakin mendesak. Perempuan dan laki-laki harus mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Semua orang, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai hak atau kesempatan untuk sekolah lebih tinggi, tanpa memandang jenis kelamin.
Gender dewasa ini erat kaitannya dengan  kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk pada hak dalam pendidikan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana  menghubungkan  semua  konsep  gender untuk  tujuan  kesehatan  dan  kesejahteraan  bersama.  Kesetaraan  gender  dalam  proses pembelajaran memerlukan peran penuh pemerintah sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara  kelembagaan  dan  terutama  guru.  Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang  salah  satu  kriterianya  adalah  berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui  proses pembelajaran yang peka terhadap gender.

Pendidikan tidak hanya dianggap dan dinyatakan sebagai unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa, melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat. Pendidikan harus menyentuh kebutuhan juga harus relavan dengan tuntutan zaman. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
kementerian Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut melalui perubahan kurikulum dan rupanya telah terakomodasi dalam kurikulum 2004, tinggal bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender meskipun pada kenyataannya masih membawa dampak bias gender dalam masyarakat yang berakibat pada kurang optimalnya sumber daya manusia, yang optimal yang unggul disegala bidang tanpa memandang jenis kelamin. (paksisgendut.files.wordpress.com)
Dengan demikian, pendidikan seharusnya memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat minat setiap individu, khususnya adalah perempuan. Materi dalam kurikulum pendidikan tidak hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang akan menjadikan nilai besar dalam kehidupan. Hal demikian juga merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan atau kesetaraan gender yang sesungguhnya.
 Dalam aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, seperti aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, agama dan lainnya dapat dilihat bagaimana ketimpangan gender antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan masih banyak dalam realita. Salah satu aspek yang menunjukkan adanya bias gender dalam pendidikan dapat dilihat pada perumusan kurikulum dan juga rendahnya kualitas pendidikan. Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Walaupun pernyataan pasal tersebut mengandung arti bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam mengenyam pendidikan formal, namun dalam kenyatannya masih ada anggapan yang menghambat wanita untuk tidak ikutserta dalam pendidikan formal.
Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan laki-laki berada pada sektor publik sementara perempuan berada pada sektor domestik. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa belum bernuansa netral gender, baik dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi.
Dalam buku ajar, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Misalnya gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Bias gender juga dapat dilihat dalam gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Sedangkan dalam rumusan kalimat pun juga demikian. Kalimat seperti "Ayah membaca Koran di teras dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.
Beberapa alasan bahwa kualitas pendidikan yang rendah adalah diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:
Akses
Akses merupakan fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
Partisipasi
Aspek partisipasi di dalamnya mencangkup faktor bidang studi dan statistic pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.
Manfaat dan penguasaan
Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan. Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”nara sumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang tampak dalam kehidupan sekolah, di mana interaksi antara guru dengan guru, guru dengan murid, dan murid dengan murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.
  Analisis Toeri Nuture Dalam Dunia Pendidikan
Teori gender ini dicetuskan pertama kali oleh John B. Watson pada tahun 1925 (catilla.wordpress.com). Menurut teori ini adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil dari konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut yang membuat perempuan tertinggal dan terabaikan. Kontribusi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. Seperti hal nya pada masyarakat kita, secara tidak langsung kesalahan gender yang terjadi sekian abad silam menjadi membudaya. Mulai dari zaman prasejarah yang menganggap bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, sehingga tugasnya hanya meramu dan menjaga anak. Dan dewasa ini perempuan masih juga di subordinasikan sebagai perempuan yang kurang mampu mengemban tugas yang dirasa berat, dikarenakan perempuan lebih cenderung lebih memakai perasaannya dibanding dengan logika
Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture  yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat. Yaitu terjadi ketidakadilan gender, maka beralih pada teori nature (Teori nature memandang perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh faktor-faktor biologis kedua jenis kelamin tersebut). Adanya ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun berdampak pula terhadap laki-laki. Hal ini sejalan dengan Marhaeni Tri (2011) menyatakan bahwa suatu system dan struktur yang disengaja atau tidak disengaja diciptakan oleh laki-laki dan untuk laki-laki. Karena masalah gender adalah masalah tentang sosial yang harus dibicarakan olah pihak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan menjadi semakin mendesak. Perempuan dan laki-laki harus mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Semua orang, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai hak atau kesempatan untuk sekolah lebih tinggi, tanpa memandang jenis kelamin.
Gender dewasa ini erat kaitannya dengan  kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk pada hak dalam pendidikan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana  menghubungkan  semua  konsep  gender untuk  tujuan  kesehatan  dan  kesejahteraan  bersama.  Kesetaraan  gender  dalam  proses pembelajaran memerlukan peran penuh pemerintah sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara  kelembagaan  dan  terutama  guru.  Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang  salah  satu  kriterianya  adalah  berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui  proses pembelajaran yang peka terhadap gender.

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia

Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000,  sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, sesuai keputusan Komite Sekolah. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

Implementasi Kebijakan Pendidikan di Indonesia

 Implementasi Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun kendala geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau.
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Sistem pendidikan semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu perencanaan pendidikan nasional yang handal. Perencanaan itu juga bukan perencanaan biasa, tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi perubahan kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan global. Globalisasi yang menjangkau seluruh bagian bumi membuat Inonesia tidak bisa terisolasi. Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi, membuat segala hal yang terjadi di dunia internasional berpengaruh juga berpengaruh ke Indonesia.
Dalam mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tanggung jawab pengelolaan pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh sekolah dan masyarakat dalam rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat yang paling dekat dengan peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat kehidupan berdemokrasi melalui desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke tingkat sekolah sehingga sekolah dapat menjadi unit utama peningkatan mutu pembelajaran yang mandiri (kebijakan langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi). Program MBS sendiri merupakan program nasional sebagaimana yang tercantum dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 (1): Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah
Dalam konteks, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif, kreatif, dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus meningkatkan diri.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah pendidikan. Implikasinya adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga, melakukan perubahan kelembagaan untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya manusia, yang menekankan pada profesionalisme.
Berikut TIGA PILAR MBS (Manajemen Berbasis Sekolah):
1. Manajemen Sekolah
a)      Kepala sekolah dan masyarakat sekolah dituntut untuk menerapkan pengelolaan/manajemen sekolah yang transparan, akuntabel dan partisipatif
b)      Kepala sekolah dan stafnya didorong berinovasi dan berimprovisasi agar menjadi kreatif dan berprakarsa.
c)      Kepala sekolah dan masyarakat sekolah menjadikan sekolah sebagai tempat perubahan.
2. Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan
a)      Kepala sekolah dan guru harus memahami konsep belajar dan cara belajar anak dan memandang anak sebagai individu yang unik yang mempunyai kemampuan yang berbeda.
b)      Proses pembelajaran didesain dengan memanfaatkan organisasi kelas agar guru dan siswa menjadi Aktif dan Kreatif yang mendukung terciptanya pembelajaran yang Efektif namun tetap Menyenangkan (PAKEM).
3. Peran Serta Masyarakat
a)      Menggali inisiatif, prakarsa, dukungan, dan kontribusi masyarakat untuk pendidikan sekolah.
b)      Masyarakat terlibat dan merasa memiliki sekolah.
c)      Sekolah yang paling berhasil & diminati masyarakat adalah sekolah yang kepala sekolah, guru, dan masyarakatnya bekerjasama secara aktif mengembangkan sekolah.
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat termasuk:
a. Menggunakan jasa sekolah;
b. Memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga;
c. Membantu anak belajar di rumah;
d. Berkonsultasi masalah pendidikan anak;
e. Terlibat dalam kegiatan ekstra kurikuler;
f. Pembahasan kebijakan sekolah.
Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan sebagai konkretisasi visi dan misi organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya.

Perkembangan Pendidikan Indonesia

Perkembangan Pendidikan Indonesia

Indonesia adalah sebuah Negara berkembang di suatu kawasan Asia yang lebih tepatnya Asia tenggara yang juga masih termasuk kawasan yang berkembang . Didalam sebuah Negara dan kawasan berkembang ada beberapa faktor yang sangat dibutuhkan agar dapat menjadi Negara maju ,beberapa faktor yang dibutuhkan untuk mengembangkan Negara menjadi Negara yang maju yaitu : sumber kekayaan alam dan sumber daya manusia . Namun sumber kekayaan alam tidak akan berguna tanpa ditunjang dari kualitas sumber daya manusianya sendiri , berdasarkan hal tersebut lah sebagai Negara berkembang Negara Indonesia harus meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dari Indonesia. Salah satu cara untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia adalah dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia sejak sedini mungkin ,dimulai dari play group/Paud ,TK , SD ,SLTP, SMA/SMK ,sampai ke Perguruan tinggi . Namun juga harus meningkatkan kualitas pelatihan-pelatihan keterampilan diluar akademik. Namun pendidikan di Indonesia masih begitu miris dan menyedihkan banyak hal yang harus diperbaiki dimulai dari penidikan usia dini sampai perguruan tinggi . Salah satu yang menjadi kelemahan pendidikan di Indonesia adalah yang pertama bentuk kurikulumnya , kurikulum di Indonesia terlalu banyak memaksa para pelajar untuk menghafal materi bahkan hanya dengan penjelasan dan hanya membayangkan ,masih terlalu sedikit praktek yang dilakukan . sehingga membuat para pelajar sulit untuk memahami apa yang ia pelajari . Sedangkan untuk yang kedua adalah fasilitas yang masih belum merata kesemua wilayah di Indonesia . Memang tidak mudah untuk memberikan fasilitas yang memadai untuk lebih dari 17ribu penduduk Indonesia terutama didaerah daerah pelosok, tetapi setidaknya pendidikan di Indonesia harus memiliki fasilitas yang cukup untuk menunjang kualitas pendidikan dan membatu perkembangan Negara Indonesia. Untuk yang ketiga adalah masih rendahnya kualitas para pengajar di Indonesia ,masih banyak guru- guru yang belum memiliki kemampuan pengajaran yang baik karena banyak rakyat Indonesia yang masih belum menghargai profesi seorang guru atau pengajar dan juga masih kurangnya presiasi pemerintah untuk para guru guru di Indonesia . Tetapi dewasa ini pendidikan di Indonesia sedikit mendapat angina segar ,karena beberapa pencanangan pencanangan dan juga kebijakan kebijakan dari pemerintah . seperti : kebijakan pengembangan kualitas dan penambahan jumlah SMK di Indonesia yang membuat para pelajar memiliki keterampilan lebih dan praktek yang memadai begitu juga di SMA dengan berlakunya kurikulum 2013 membuat pelajar mampu memaparkan sendiri apa yang ia pelajari sehingga para pelajar dituntut untuk memahami secara penuh bukan uuntuk menghafal materi secara penuh . Dan semakin banyaknya fasilitas yang di distribusikan ke daerah-daerah terpencil untuk meningkatkan kualitas sekolah dan tentu juga untuk meningkatkan kualitas seumber daya manusianya itu sendiri , begitu juga peningkatan kualitas para guru dan pengajar salah satu caranya adalah banyak seminar-seminar kepelatihan untuk menambah kemampuan guru dalam mengajar dan memahami keadaan para muridnya dan juga pencanangan kebijakan kesejahteraan guru yang membuat semakin banyak yang berminat mengabdi sebagai guru yang handal sehingga membuat guru lain merasa perlu untuk berkambang supaya meningkatkan daya saingnya. Semoga dengan perkembangan perkembangan ini mempercepat perkembangan Negara Indonesia dan membuat Negara Indonesia menjadi Negara maju di Asia . Namun semua itu akan menjadi sia sia tanpa ada kemauan dan kontribusi kita sebagai salah satu bagian dari sumber daya manusia . Karenanya marilah bersama membangun negeri kita bersama.

Kualitas Pendidikan di Indonesia

Kualitas Pendidikan di Indonesia

Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu goal apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih murah. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi

PENDIDIKAN MASA DEPAN

PENDIDIKAN MASA DEPAN

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
Di era informasi yang serba instan ini setiap masyarakat pasti membutuhkan pusat informasi dan pengetahuan. Informasi pengetahuan dan teknologi didapat dari sekolah yang merupakan lembaga pendidikan untuk melatih kompetensi siswa agar mampu dapat bersaing dalam era informasi teknologi. Didalam menentukan pilihan untuk menyekolahkan anaknya, setiap masyarakat menginginkan sekolah mempunyai asset/modal pendidikan yang tetap yaitu tanah, bangunan, guru dan administrator agar nantinya tidak hanya menghasilkan output/keluar secara kuantitas saja namun dapat menghasilkan outcome/dampak yang dapat memberikan peranan yang lebih bagi masyarakat sekitarnya. Sering kali kita berbicara berapi-api tentang keinginan memiliki sekolah unggul namun pada praktiknya sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah merasa puas dengan kualitas yang sedang-sedang saja. Sehingga peranan masyarakat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan dapat memberikan kontribusinya perlu dikembangkan agar dapat mendukung sekolah untuk
mampu tetap konsisten dalam upaya peningkatan mutu pendidikan bagi siswanya, tidak hanya sedang-sedang saja namun lebih optimal. Tidak bosan-bosannya para pakar pendidikan berusaha meningkatkan mutu pendidikan sekolah, tidak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat mempunyai peranan yang cukup penting pula dalam masalah peningkatan mutu pendidikan. Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang berorientasi pada peran serta masyarakat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan mulai dikembangkan di sekolah-sekolah seiring dengan berlakunya otonomi daerah yang menuju
otonomi sekolah. Sekolah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan berusaha untuk mewujudkan sekolah unggul. Di dalam sekolah unggul mempunyai pusat-pusat sumber daya yang memiliki sebuah pendidikan pra sekolah, sebuah sekolah dasar, kelas-kelas dewasa, para dokter dan perawat,
seorang psikoterapis, seorang ahli pengobatan alami, kelas kebugaran, program keterampilan asuh, pendeta, dan koran sendiri.
Kehidupan suatu bangsa juga ditentukan oleh tingkat pendidikanya. Suatu bangsa yang pendidikanya maju, tentu kehidupanya juga maju, demikian pula sebaliknya. Misalnya, Malaysia tingkat pendidikanya maju, tentu kehidupanya maju pula. Bangsa Indonesia tingkat pendidikanya kurang maju, tentu kehidupanya juga kurang maju.[3] Pendidikan dalam hal ini harus peka terhadap persoalan masa depan dan persoalan ketidak adilan social, maka diperlukan visi yang sesuai dengan formasi social agar pendidikan dapat diterjemahkan menurut realitas social.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan pemerataan pendidikan yang dapat mengakomodasi keinginan masyarakat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah.
Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang, di mana berbagai aspek yang tercakup dalam proses saling erat berkaitan satu sama lain dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup dan keterampilan hidup. Prosesnya bersifat kompleks dikarenakan interaksi di antara berbagai aspek tersebut, seperti guru, bahan ajar, fasilitas, kondisi siswa, kondisi lingkungan, metode mengajar yang digunakan, tidak selamanya memiliki sifat dan bentuk yang konsisten yang dapat dikendalikan. Hal ini mengakibatkan penjelasan terhadap fenomena pendidikan bisa berbeda-beda baik karena waktu, tempat maupun subjek yang terlibat dalam proses. Dalam proses pendidikan tersebut diatas, kurikulum menempati posisi yang menentukan. lbarat tubuh, kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Kurikulum merupakan seperangkat rancangan nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus ditransfer kepada peserta didik dan bagaimana proses transfer tersebut harus dilaksanakan.
Proses-pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk dapat hidup layak di masa depan, suatu masa yang tidak mesti sama bahkan cenderung berbeda dengan masa kini. Berkaitan dengan kurikulum, dimensi jangka panjang ini memberikan pemahaman bahwa suatu kurikulum harus merupakan jembatan bagi peserta didik untuk dapat mengantarkan dari kehidupan masa kini ke kehidupan masa depan. Peserta didik yang berada di bangku sekolah dewasa ini dipersiapkan untuk dapat hidup secara layak dan bermanfaat baik bagi diri, keluarga dan masyarakatnya.

Tantangan Masa Depan Dalam Mempersiapkan Pendidikan Berkualitas

Tantangan Masa Depan Dalam Mempersiapkan Pendidikan Berkualitas

 Pendidikan merupakan sektor yang sangat menentukan kualitas suatu bangsa. Kegagalan pendidikan berimplikasi pada gagalnya suatu bangsa, keberhasilan pendidikan juga secara otomatis membawa keberhasilan sebuah bangsa. Pada dunia pendidikan, hendaknya memperhatikan unsur pendidikan, yang di antaranya: peserta didik, pendidik, software, manajemen, sarana dan prasarana dan stakeholder. Aset yang diperlukan dalam pendidikan adalah sumber daya manusia yang bekualitas. Sumber daya yang berkualitas dapat berupa dari siswa, masyarakat, maupun dari pendidik.
Pelaksanaan suatu pendidikan mempunyai fungsi, antara lain: inisiasi, inovasi, dan konservasi. Inisiasi merupakan fungsi pendidikan untuk memulai suatu perubahan. Inovasi merupakan wahana untuk mencapai perubahan. Konservasi berfungsi untuk menjaga nilai-nilai dasar. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki kehidupan suatu bangsa, harus dimulai penataan dari segala aspek dalam pendidikan.
Tujuan dari pendidikan yang diharapkan adalah menciptakan out come pendidikan yang berkualitas sesuai dengan harapan dari berbagai pihak. Dalam hal ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Manajemen yang bagus (good management) dalam dunia pendidikan di Indonesia sangat diharapkan oleh seluruh warga Indonesia. Manajemen pendidikan yang bagus dapat diciptakan dan dapat dilaksanakan oleh manajer pendidikan yang berkualitas. Manajer dalam dunia pendidikan salah satunya adalah guru. Tugas guru selain mengajar, juga menjadi seorang manajer pendidikan. Seorang guru harus dapat merencanakan manajemen yang baik. Menurut Jamal Mamur Asmani (2009), Manajer pendidikan yang bagus adalah seseorang yang mau merencanakan manajemen pendidikan dimasa yang akan datang.
Pendidikan Berkualitas
Saat ini dunia pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi kritis baik dilihat dari sudut internal kepentingan pembangunan bangsa, maupun secara eksternal dalam kaitan dengan kompetisi antar bangsa. Fakta menunjukkan bahwa, kualitas pendidikan nasional masih rendah dan jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain. Berbagai kritikan tajam yang berasal dari berbagai sudut pandang terus ditujukan kepada dunia pendidikan nasional dengan berbagai alasan dan kepentingan. Bahkan ada beberapa pihak yang menuding bahwa krisis Nasional sekarang ini bersumber dari pendidikan dan lebih jauh ditudingkan sebagai kesalahan guru. Benarkah ada unsur salah pada guru? Mungkin ya dan mungkin tidak tergantung dari sudut mana memandang dan menilainya. Namun yang pasti ialah bahwa kondisi guru saat ini bersumber dari pola-pola bangsa ini memperlakukan guru. Meskipun diakui guru sebagai unsur penting dalam pembangunan bangsa, namun secara ironis guru belum memperoleh penghargaan yang wajar sesuai dengan martabat serta hak-hak azasinya. Hal itu tercermin dari belum adanya jaminan kepastian dan perlindungan bagi para guru dalam pelaksanaan tugas dan perolehan hak-haknya sebagai pribadi, tenaga kependidikan, dan warga negara.
Siapapun mulai dari Presiden, wakil rakyat, para pejabat, dan semua warga masyarakat sangat setuju bahwa kualitas pendidikan harus ditingkatkan untuk mengejar ketertinggalannya di dalam tantangan global. Namun bagaimana upaya itu harus dilakukan secara sistemik agar dapat terwujud dengan baik. Tulisan ini akan mengemukakan satu pandangan bahwa upaya mencapai pendidikan berkualitas harus dimulai dengan guru yang berkualitas. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa memperhitungkan guru secara nyata, hanya akan menghasilkan satu fatamorgana atau sesuatu yang semu dan tipuan belaka. Guru yang berkualitas bukan hanya diwujudkan dari eksternal sekolah akan tetapi faktor internal sekolah terutama dalam mengembangkan lingkungan sekolah yang efektiflah yang memberi dampak sangat penting mewujudkan guru yang berkualitas.
Demikianlah uraian mengenai tantangan masa depan dalam mempersiapkan pendidikan yang berkualitas. Semoga pihak-pihak yang berkepentingan segera bekerja dengan baik dan benar untuk memajukan pendidikan.

Harapan untuk Pendidikan di Indonesia

Harapan untuk Pendidikan di Indonesia

Pendidikan sejatinya adalah kunci untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia yang semakin bobrok. Yang penting dimiliki bangsa kita bukan hanya ilmu pengetahuan, namun juga moral. Untuk itu, pendidikan tidak bisa atau tidak harus diperbaiki. Berikut ini harapan saya untuk pendidikan di Negara kita yang tercinta ini.
1. Dana BOS dapat disalurkan dengan baik. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) memberikan pengawasan yang memadai sehingga tidak ada pihak sekolah yang menyelewengkan dana.
2. Kemendiknas memberikan beasiswa yang memadai untuk lulusan SMA yang berprestasi namun tidak mampu secara finansial.
3. Anak-anak yang berbakat diberikan dukungan
4. Kurikulum di sekolah-sekolah disesuaikan dengan keperluan. Rencana Kemendiknas memberikan pendidikan menanggulangi bencana sebaiknya segera dipenuhi.
5. Guru-guru dengan tulus mengabdi dan bersedia mengajar bahkan di tempat yang terpencil atau tertinggal. Sebagai insentif, Pemerintah sebaiknya menaikkan tunjangan guru-guru.
6. Standar nilai ujian nasional dinaikkan. Hal ini tentunya harus diimbangi dengan pendampingan yang memadai dari guru terhadap para murid dalam mempersiapkan murid-murid menghadapi ujian nasional.
7. Selama ini sudah ada buku pelajaran gratis dari Kemendiknas dan dapat diperbanyak dengan gratis. berharap buku-buku ini dimaksimalkan. Selain itu, sebaiknya setiap sekolah memaksimalkan perpustakaan sehingga perpustakaan tetap menjadi sumber jendela dunia dengan buku-buku yang lengkap.
8. Berharap semakin banyak kompetisi sains serta disiplin ilmu lainnya dalam tingkat nasional sehingga tiap sekolah terpacu untuk meningkatkan kualitas belajar-mengajar mereka serta memotivasi setiap murid untuk mengembangkan diri juga.
9. Berharap Menteri Pendidikan Nasional melakukan kunjungan ke berbagai sekolah secara rutin. Untuk melakukan pengamatan serta memberikan pengarahan.
10. Berharap gerakan orang tua asuh juga dapat membantu pendidikan di Indonesia. Misalnya menggalang donatur khusus untuk membiayai kegiatan pendidikan untuk anak-anak yang kurang mampu.

RENDAHNYA KESADARAN MASYARAKAT MENGENAI PENDIDIKAN

RENDAHNYA KESADARAN MASYARAKAT MENGENAI PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia, oleh karenanya pendidikan sangat dibutuhkan dalam menunjang pekerjaan yang ada. Baik pendidikan formal, nonformal maupun pendidikan informal. Menurut saya kesadaran akan pendidikan di Indonesia masih sangat rendah, khususnya pada masyarakat daerah yang terpencil bahkan di daerah perkotaan besar seperti Jakarta saja masih banyak masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran akan pendidikan yang rendah. Sangat di sayangkan memang, tapi inilah kenyataannya. Di tengah era globalisasi dan modernisasi, semakin canggihnya teknologi masih saja ada masyarakat yang kurang menghargai bagaimana pentingnya pendidikan. Di sini saya akan memarparkan beberapa hal yang membuat masyarakat cenderung tidak mementingkan pendidikan dan beberapa solusi dari masalah tersebut. Hal-hal yang membuat masyarakat kurang mementingkan pendidikan diantanranya : 1.Ketidaktahuan akan pentingnya pendidikan bagi kelangsungan hidup Banyak dari mereka (masyarakat pedesaan) yang berpikir untuk apa sekolah? Asalkan sudah bisa mencari uang tidak perlu sekolah padahalkan pendidikan di sekolah juga perlu untuk menunjang karier mereka di masa depan nanti siapa tahu menjadi orang sukses. 2.Tidak memadainya sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pendidikan Kurangnya bahkan rusaknya sarana dan prasarana yang telah ada, membuat masyarakat semakin malas untuk sekolah, untuk mengenyam pendidikan. Sudah sepatutnya pemerintah dan kita bersama-sama membantu memfasilitasi mereka ^-^ 3.Letak geografis yang menyulitkan untuk mengakses masyarakat di desa terpencil. Letak geografis kerap kali menjadi kendala untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat pedesaan, mulai dari naik turun bukit, tidak ada alat transportasi, sampai tidak adanya aliran listrik 4.Mahalnya biaya pendidikan Biaya pendidikan di Indonesia mahal, sedangkan penghasilan cuma cukup buat makan saja. Belum beli seragam, sepatu, tas, peralatan sekolah, buku, belum lagi kalo ada tugas-tugas, terus tiap hari perlu ongkos ke sekolah mungkin kalimat-kalimat ini yang sering terlintas di benak masyarakat pedesaan jika memikirkan tentang pendidikan. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi rendahnya kesadaran akan pendidikan : 1.Mengadakan sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan bagi kehidupan Pemerintah perlu mengadakan kegiatan sosialisasi bagi mereka masyarakat yang dirasa kurang mengetahui arti pentingnya pendidikan. 2.Melengkapi sarana dan prasarana khususnya di daerah yang terpencil Saya rasa, pemerintah telah memberikan sarana dan prasarana pendidikan di desa terpencil. Akan tetapi pemerintah juga perlu menindaklanjuti/melakukan pengawasan terhadap penggunaan sarana dan prasaran yang telah di berikan agar tidak sia-sia. 3.Melakukan lebih banyak kegiatan pendidikan di daerah terpencil sacara gratis Sebaiknya pengadaan kegiatan pendidikan di lakukan secara gratis, tanpa di pungut biaya apapun. 4.Membuat program beasiswa bagi masyarakat yang membutuhkan Sekarang telah banyak program beasiswa pendidikan untuk masyarakat. Mulai dari beasiswa ekonomi/sosial sampai beasiswa berprestasi, tentunya pemerintah harus melaksanakannya dengan benar jangan sampai salah sasaran. 5.Tidak mempersulit masyarakat yang ingin mendapatkan pendidikan Sebaiknya pemerintah juga tidak mempersulit masyarakat yang ingin bersekolah atau menuntut ilmu dengan membuat sistem administrasi yang sederhana yang mudah di pahami oleh masyarakat. Semua itu tidak akan berjalan tanpa adanya kemauan dari masyarakatnya sendiri untuk merubah Indonesia menjadi lebih baik lagi. Dan bagi pemerintah semua itu hanyalah wacana biasa jika kalian hanya melihatnya tanpa ada niat untuk melaksanakannya.